Zona Terlarang Negeri Tambang

Kondisi pemukiman warga di Sikeli, Pulau Kabaena. foto: Yoshasrul


Angin sepoi-sepoi bertiup di bulan September 2011. Perahu katinting yang  kami tumpangi membelah ombak di sisi selatan pulau kabaena. Saya dan Abdul Halim dari wartawan Metro TV duduk berselonjor di bodi batang sembari menutup kepala dengan jaket. Terik mentari mulai menyengat membawa kami menuju pulau yang berada di sisi selatan desa pongkalaero. Pongkalaero adalah desa kecil berpenduduk kurang lebih dua  ratus jiwa (150 kepala keluarga). Desa  yang terletak di pesisir ditumbuhi banyak pohon kelapa. Ombak laut  melabrak perahu memberi cipratan air laut ke tubuh kami. Kamera  terpaksa saya selip ke dalam tas punggung. Sedang Halim melindungi kamera diantara bajunya. Sepanjang perjalanan kami disuguhi  panorama alam pulau kabaena yang asri. Pohon nyiur melambai di kejauhan. Hutan lebat Nampak elok menunjukkan keperawanannya. Sayang umur hutan-hutan ini tak lagi begitu lama, sebab seluruh kawasan telah di plot menjadi area tambang yang diajukan sejumlah perusahaan yang hadir di kabaena. IUP yang dikeluarkan bupati telah membuat rakyat yang hidup di pesisir mulai merana. Mereka gelisah tambang akan merampas hutan-hutan yang selama ini menjadi pelindung mereka. Laut-laut yang menjadi rumah sekaligus tumpuan hidup warga bakal hilang. 80 persen tanah kabaena mengandung nikel kelas wahid. Mencapai reject 3 (Istilah para penambang di Sultra) sebuah kadar tertinggi bagi mineral bernama nikel.
Desa pongkalaero di Kabaena Selatan. foto: Yoshasrul


Akhirnya kami tiba di pulau terpencil. Di kejauhan debu merah berterbangan ke udara pertanda aktifitas pertambangan tengah berlaku. Benar saja. Di jarak lima ratus meter terlihat dengan jelas, kapal-kapal tongkang merapat di dermaga darurat milik PT Aroma Harisma Baraka   (AHB). Perusahaan yang menjadi anak perusahaan PT Bili milik Ny Emy seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Perusahaan yang resmi ekspansi tahun 2007 itu diduga memiliki sejumlah  anak-anak perusahaan pertambangan bergerak di sejumlah kabupaten di Sulawasi Tenggara diantaranya di Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Bombana.
Dalam catatan liputan jurnalistik di sejumlah wilayah kabupaten, dimana terdapat lokasi pertambangan, aktivitas pertambangan maupun perkebunan di jazirah Sulawesi Tenggara, nampaknya telah dijadikan sebagai zona terlarang bagi perusahaan. Bermodal mengantongi izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh Bupati, Walikota dan Gubernur, perusahaan pertambangan sudah melakukan penjagaan ketat.
Lokasi tambang PT AHB di Pulau Kabaena. foto: Yoshasrul
Agar tidak diketahui publik, kawasan pertambangan pun ditutup untuk umum. Perusahaan menyiapkan security yang direkrut khusus untuk  menjaga keamanan perusahaan  dan menjalankan  perintah bos tambang. Lakon inilah yang dipraktekkan PT AHB saat aktif mengolah tambang nikel di  Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana kepada Saya dan Halim Ahmad wartawan Metro TV  saat melakukan peliputan di kawasan itu. 

Peristiwa pengancaman dan pengusiran  oleh security suruhan  PT Anugrah Harisma Baraka itu terjadi, saat Kami melakukan liputan program Metro Realitas yang tayang 22 September 2011 silam. Perusahaan yang mendapat izin kuasa pertambangan dari Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Nur Alam itu dengan pongah memperlihatkan kekuasaan mereka di tanah milik rakyat Kabaena tersebut.

Ceritanya, saat tiba di lokasi pertambangan pada Minggu 18 september 2011silam,  Saya dan Halim Ahmad disambut oleh security perusahaan yang langsung menanyakan apa maksud dan tujuan kedatangan Kami. Sebagai wartawan kami sampaikan akan meliput. Security itu segera bergerak dan mengambil alat komunikasi ( HT) untuk menyampaikan informasi ini kepada pemegang kekuasan di perusahaan PT Anugrah Harisma Baraka.

Beberapa menit kemudian, petugas pengamanan itu menyampaikan jika pimpinan perusahaan tidak berada di tempat. “Jadi kalian harus meninggalkan lokasi pertambangan ini sekarang juga,”seru security itu. Mendapat jawaban dari petugas pengamanan ini, Kami  pun meminta kepada sang security agar dipertemukan dengan Humas perusahaan, untuk meminta izin peliputan. Petugas pengamanan langsung melakukan komunikasi. Setelah beberapa menit kemudian, kedua wartawan itu dimintai untuk menunggu di pelabuhan dengan cuaca yang panas. Selang berapa lama, seorang laki-laki gemuk dan berambut putih turun dari sebuah mobil dan berkata, “Ada tamu ya,”kata pria beramput putih.

”Ada apa dan apa tujuan Kalian masuk ke perusahaan ini, saya Humas PT Anugrah Harisma Baraka, nama saya Karsono, silahkan Anda catat,”katanya kepada kami berdua. Setelah mengetahui lelaki itu menjabat sebagai Humas, kedua kami pun segera menunjukkan kartu identitas atau ID Card Pers. Kepada Karsono Kami menjelaskan maksud dan tujuan Kami hari itu  dengan harapan agar dapat diterima melakukan liputan.

Namun sungguh diluar dugaan. Lelaki gemuk dan berambut putih yang bernama Karsono itu justru langsung mengusir dan meminta kepada Kami untuk tidak melakukan peliputan dilokasi pertambangan itu. Karsono juga meminta Kami segera meninggalkan zona perusahaan. Kami tidak lantas menurut begitu saja, Kami berdua mencoba bertahan dan mencoba mengambil gambar dengan kamera.

Apa yang Kami lakukan justeru membuat Karsono semakin kesal. Kalimat bernada kasar pun mulai dilontarkan. Tiga orang petugas keamanan langsung mendekati kami. Beberapa menit kemudian security perusahaan langsung merangsek mengepung kami.

Sikap kasar Karsono pun kami protes dan mencoba menjelaskan kembali maksud  kedatangan kami di perusahaan itu yakni untuk melakukan peliputan. "Kami sudah minta ijin ke  Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam,"kata Halim. Dan sebagai bukti, Halim  menunjukan SMS Gubernur yang tersave di handphonenya. Namun Karsono makin marah dan mengatakan,  “Telepon Gubernur sekarang, saya akan marahi dia, ini aturan perusahaan,”tegas Karsono. “Kalian boleh masuk asalkan ada surat rekomendasi dari Gubernur kepada pemimpin perusahaan kami, kalau ada mana saya lihat, kalau tidak kembali dulu ambil dan datang lagi,”ujarnya lagi.

Tak putus akal, kami berdua terus mencari cara. Pasalnya, sebelum berkunjung keperusahaan itu, Halim pernah melakukan hubungan via telpon dengan Widi, salah satu petinggi di PT AHB. Anehnya, saat  dihubungi, Widi tidak menjawab panggilan itu. Kami sadar ada yang tak beres. Sementara orang-orang perusahaan semakin banyak berseliweran mengintimidasi secara tidak langsung. 

Kesewenangwenangan Karsono memang luar biasa, bahkan untuk membeli air mineral saja Ia tidak izinkan. “Kalian saya tidak izinkan untuk membeli minuman, jangan coba-coba masuk ke lokasi pertambangan dengan alasan apapun,”Kata Karsono lagi. Meski tak berhasil merekam aktifitas perusahaan, secara diam-diam Halim sempat merekam aksi intimidasi yang dilakukan Karsono dan securitynya.   Kami akhirnya memutuskan untuk meninggalkan perusahaan dengan menggunakan sebuah perahu kecil dengan kondisi cuaca buruk.

Apa yang Kami alami hari itu, mendapat respon dari warga Desa Pongkalaero. Sahibu, salah seorang tokoh masyarakat di desa itu mengungkapkan, kondisi seperti itu kerap kali dialami oleh masyarakat Desa Polangkalaero. “Ancaman dan teror sudah  sering kami dapatkan dari perusahaan pertambangan ini,  bahkan warga pernah dilempari oleh aparat yang diduga dibayar oleh perusahaan,"ungkapnya. Begitu pula akses tempat pengambilan air minum ditutup paksa perusahan, Kami sering diperiksa petugas jika hendak masuk mengambil air. Seorang ibu pernah menangis karena diancam oleh perusahaan, Kami ini orang kecil dan tidak bisa melawan perusahaan yang banyak uang itu,”terang Sahibu.

Perwakilan perusahaan PT Anugrah Harisma Baraka, Widi mengatakan peristiwa yang terjadi lokasi pertambangan harus dimaklumi karena banyak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab sering melakukan pengancaman terhadap aktivitas perusahaan. “Kami juga tidak tahu kalau wartawan Metro TV dan Trans TV mau melakukan peliputan, sehingga kami tidak informasikan ke pihak perusahaan, jadi saya minta maaf atas perlakuan oknum dilapangan,”kata Widi.

Seolah sudah jamak jika dunia pertambangan sangat sulit diakses data dan informasi. Problem yang hampir terjadi di seluruh daerah kendati keterbukaan informasi  sudah undangkan. Di Kolaka akses mendapatkan informasi juga tertutup sama sekali. Sejumlah mahasiswa yang melakukan penelitian untuk bahan skirpsi mengeluhkan kondisi ketertutupan tersebut. Bahkan untuk mendapatkan data Ia harus melewati deretan pintu birokrasi hingga akhirnya menjangkau data sekunder. Itu pun harus pandai-pandai melakukan pendekatan personal. Tak hanya di perusahaan yang tertutup, tetapi juga di instansi teknis pemerintah.

Untuk memperoleh informasi tentang ijin-ijin usaha tambang di  seluruh kabupaten kolaka, memang bukan perkara gampang. Info perijinan tambang bahkan dianggap kerahasiaan Negara yang tidak bisa diakses oleh public.  Sungguh sesuatu yang bertentangaan dengan UU keterbukaan Publik yang kini wajib dijalankan seluruh elemen negara. Jajaran pemerintah kompak untuk tidak memberikan informasi tambang yang ada di daerah mereka. Baik untuk kebutuhan penelitian mahasiswa, komparasi data pemerintah provinsi maupun bahan liputan para jurnalis.

Saat melakukan peliputan di kabupaten kolaka, saya menemukan ragam modus operandi ketertutupan infomasi tambang di sana. Saya sama sekali tidak bisa mendapatkan akses informasi  dan aparat pemerintahan selalu saja saling lempar tanggung jawab. Keterbukaan data IUP misalnya yang benar-benar tidak bisa diketahui selain aparat instansi teknis dan perusahaan. Demikian pula data dokumen Analisis dampak lingkungan perusahaan yang seharusnya wajib diketahui public sebagai informasi dasar pengelolaan lingkungan, sama sekali tidak bisa diberikan.

Selain data IUP dan Amdal yang tidak diberikan, dari sector transparansi pendapatan anggaran pertambangan juga tidak bisa  diakses. Tidaklah mengherankan jika membuka situs online milik pemerintah baik provinsi maupun dinas pertambangan kabupatenan, maka public akan kecewe karena tidak menemukan angka-angka pasti dari perolehan pendapatan sector tersebut. Dinas pertambangan setempat sama sekali tidak bisa memberikan gambaran berapa besar sebenarnya perolehan pendapatan daerah untuk sector pertambangan setiap bulannya. Tidak tersedianya gambaran keadaan pendapatan daerah ini menujukkan ketertutupan pihak oknum-oknum pemerintahan dalam mengelola  pertambangan. Budaya korupsi yang kuat telah membuat daerah terpuruk. Di bayangan  saya perolehan pertambangan  ini dapat mencapai triliunan rupiah, namun apa yang terjadi, gambaran ketertutupan pengelolaan sektor pertambangan serta ketidak transparansian pengelolaan pendapatan sector tambang, menguatkan dugaan saya dan banyak kalangan,  bahwa skandal korupsi luar biasa besar di sector ini, yang pada gilirannya membuat rakyat di pedesaan menjadi imbas .

Comments

Popular Posts