Sejarah Ekspansi Perkebunan Sawit di Konawe Utara
Hijau perkebunan sawit
menghampar luas sejauh mata memandang. Deretan pepohonan sawit berjajar rapi
mencapai puluhan ribu hektar
membentang di jazirah konawe utara hingga keperbatasan provinsi sulawesi
tengah.
Pohon-pohon sawit ini
milik sejumlah perusahaan yang kini menanamkan investasi di konawe utara. Hampir
seluruhnya telah menghasilkan buah dan masih ada ribuan pohon lagi yang sedang masa peremajaan.
Namun jangan salah,
ranumnya buah sawit tak semanis nasib warga konawe utara khususnya di Kecamatan
Asera, Wiwirano dan Langgikima kini. Warga yang umumnya petani tengah
diperhadapkan dilema yang cukup besar.
Hari-hari sepanjang belasan tahun dari era
kepemimpinan Gubernur Kaimoddin hingga Nur
Alam, dilalui warga dengan kepiluan.
Janji-janji manis
perusahaan yang akan mensejahterakan rakyat, kini berubah menjadi petaka, buah
sawit yang selayaknya diproduksi menjadi minyak dan menghasilkan uang sama
sekali tidak terbukti.
Warga terpaksa
mengubur dalam-dalam impian manis itu karena buah sawit yang ranum dibiarkan
membusuk. Warga menjadi buruh sampah di lahan mereka sendiri dan mau tidak mau harus memusnahkan buah
sawit dengan cara dibakar.
Penantian panjang itu
terkadang membuat masyarakat frustasi. Bukan saja karena warga diperhadapkan
dilema pengelolaan buah sawit yang tidak bernilai ekonomi tetapi juga warga
tidak lagi bisa memamfaatkan lahan mereka untuk bercocok tanam tanaman jangka
pendek karena hampir seluruh lahan warga berdiam telah ditumbuhi pohon sawit.
Selama belasan tahun
tanah konawe utara menjadi surga perkebunan sawit. Bahkan perkebunan sawit di konawe
utara sendiri telah ada jauh sebelum daerah ini dimekarkan menjadi daerah
otonom tahun 2007 silam. Saat itu konawe utara masih merupakan wilayah dari
kabupaten konawe yang berpusat di unaaha. para pemilik perusahaan sawit
berlomba-lomba ekspansi dan menanamkan
modal ke daerah yang baru empat tahun mekar tersebut.
Mudahnya pemberian
ijin dan pelepasan kawasan menjadi salah satu daya tarik para pengusaha sawit
menanamkan investasi mereka.
PT Perkebunan
Nusantara IV adalah perusahaan perintis yang membuka lahan perkebunan di asera
tahun 1997 silam. Semenjak berinvestasi perusahaan milik negara itu belum
menyediakan satu pun pabrik sawit. Berbagai alasan kerap dikemukan pihak
perusahaan yang pada gilirannya tidak juga menguntungkan nasib warga petani.
Kondisi tersebut tentu
jauh berbeda ketika pertama kali PT Perkebunan Nusantara datang. Mereka menjanjikan akan memproduksi
minyak sawit serta akan mempekerjakaan ribuan tenaga kerja local. Namun seluruh
janji-janji perusahaan tidak kunjung dipenuhi.
Konversi lahan dari hutan alam ke perkebunan sawit di kabupaten konawe utara menyebabkan bencana lingkungan. foto: Yoshasrul |
Alih-alih
mensejahterakan rakyat kehadiran perkebunan sawit membawa imbas bagi
masyarakat, warga terlanjur menyerahkan lahan-lahan mereka ke perusahaan untuk ditanami sawit.
Ditambah lagi perusahaan menjerat
masyarakat dengan kesepakatan.
Tak hanya perusahaan
yang mengumbar janji dalam berbagai kesempatan pemerintah kerap mengelu-elukan
keberadaan investor akan mensejahterakan rakyat. Tak heran pemerintah konawe
utara sangat optimisme daerah yang baru empat tahun mekar tersebut akan maju
pesat bersaing dagan daerah lainnya di sulawesi tenggara.
Perusahaan –
perusahaan sawit dan tambang diharapkan menjadi andalan pemasukan pendapatan
daerah serta menjadi lapangan kerja buat masyarakat konawe utara.
Untuk menjaring
investasi pemerintah konawe utara membuat sejumlah kemudahan bagi para
investor diantaraya kemudahan perijinan.
Ini ditandai dengan lahirnya sejumlah perijinan pinjam pakai kawasan. Sayangnya
kemudahan perijinan pada perusahaan
hanya menguntungkan para oknum pejabat pemerintah dan berimbas pada merosotnya
pendapatan daerah. Ini diakui sendiri oleh pejabat bupati konawe utara.
Seyogyanya kehadiran
perusahaan-perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan dapat mensejahterakan
daerah tersebut, namun faktanya hingga kini daerah tersebut masih saja menjadi
daerah terbelakang dan miskin di banding daerah lain di sulawesi tenggara.
Sejak awal terdapat lima perusahaan sawit yang mengolah
kurang lebih 12.000 hektar lahan sawit yang membentang di seluruh wilayah
konawe utara. Dalam prakteknya, seluruh perusahaan-perusahaan menerapkan dua
pola intensifikasi lahan inti dan plasma
yang seluruhnya telah melalui proses sertifikasi.
Lahan-lahan warga yang
telah sertifikasi tersebut telah pula diagunkan perusahaan ke berbagai bank di
indonesia sebagai prasyarat mendapatkan pinjaman lunak dana perbankan. Praktek
ini merupakan satu dari sekian modus operandi perusahaan sawit mengeruk
keuntungan. Modus lainnya yakni mengajukan pinjam pakai lahan di hutan produksi
yang memiliki kayu melimpah. Dari kayu-kayu hasil tebangan tersebut dijual
secara ilegal ke pasar gelap.
Kehadiran perkebunan
sawit tidak sepenuhnya memberikan kesejahteraan, tetapi sebaliknya membawa
malapetaka bagi masyarakat. Umumnya warga pemlik lahan hanya menjadi obyek
pelengkap penderita saja. Masyarakat nyaris tidak diberi hak atas kehadiran
perusahaan.
Idealnya, masyarakat
diberikan bagian dari aset perusahaan karena selain sebagai pemiliki lahan,
warga memiliki peran menjaga sekaligus
menjadi pekerja. Perusahaan sawit justeru mermarginalkan keberadaan masyarakat
khususnya petani.
Ironisnya pemerintah
yang diharapkan menjadi mediator komunikasi antara perusahaan dan warga juga
tak mengambil peran. Justeru cenderung menjadi pihak yang yang ikut
berkolaborasi dengan perusahaan. Ini dapat dilihat dari perjalanan sawit di
asera. Berkali-kali masyarakat meminta pemerintah menjembatani permasalahan, tapi tidak pernah
mendapat tanggapan serius, bahkan
terkesan tidak peduli.
Kehadiran perusahaan
ibarat bom waktu bagi masyarakat. Selain merubah pola hidup ekonomi masyarakat,
ekspansi perusahaan-perusahaan sawit
telah melahirkan konflik baru, terutama masyarakat adat dan perusahaan. Protes
yang dilayangkan masyarakat adat Sambawa
(Sabandete Walandawe) di Kecamatan Asera
menjadi contoh kerasnya perlawanan rakyat atas kehadira perusahaan sawit di
jazirah konawe utara.
Warga terpaksa
membakar dan menebang seluruh pohon kelapa sawit yang dicaplok perusahaan
perkebunan kelapa sawit PT Sultra Prima Lestari.
Tindakan massa petani
tersebut dipicu sikap sawit PT Sultra Prima Lestari yang hingga kini terus
memperluas lahan perkebunan mereka sehhingga mencamplok tanah adat di dua desa
tersebut. Warga bersama tokoh adat telah
berkali-kali mengingatkan agar pihak perusahaan agar segera menghentikan
aktifitas penenaman namun tidak diindahkan.
Ironisnya kehadiran
polisi yang seharusnya menjadi penengah konflik juga tidak menguntungkan
masyarakat adat, bahkan cenderung menjadi memihak pada perusahaan.
Masyarakat adat
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, merupakan satu kesatuan hukuma
adat yang masih berkembang dalam
kehidupan masyarakat. Masyarakat yang mendiami daerah sambandete-walandawe
adalah yang dimaksud oleh undang-undang karena keberadaanya telah lama jauh
sebelum bangsa Indonesia merdeka.
Tetapi terkesan
diabaikan oleh pemerintah khususnya bupati konawe utara. Dalam proses
penyelesaian sengketa tanah adat sambandete-walandawe yang telah di serobot
oleh PT Sultra Prima Lestari (perkebunan sawit) dan PT Pertambangan Bumi
Indonesia (tambang nikel) prosesnya lambat dan berlarut-larut.
Kesepakatan antara
pemerintah dengan masyarakat adat sambawa semua aktifitas perusahaan diatas
tanah akan di hentikan. Ini diperkuat pula
hasil peninjauan DPRD kabupaten konawe utara di lokasi tanah adat dan
ditemukan bukti-bukti kebenaran jejak sejarah adat adat sambawa yang secara
turun-temurun dimanfaatkan masyarakat secara arif dan berkelanjutan.
Raup, mantan Ketua DPRD Konawe Utara dan kini menjabat Wail Bupati Konawe Utara pernah mengungkapkan, bahwa , secara
kelembagaan DPRD Kabupaten Konawe Utara telah mengirimkan surat ke pihak
eksekutif , bupati untuk menerbitkan surat keputusan untuk mengakui lahan
tersebut sebagai tanah adat masyarakat adat sambandete-walandawe.
Sayangnya perjuangan masyarakat adat
memperjuangkan hak-hak mereka tidak kunjung terpenuhi , bahkan kesepakatan antara masyarakat adat dan
pemerintah tesebut tidak diindahkan perusahaan
dan semakin memperluas areal konsesi sawit mereka.
Pembukaan puluhan ribu
areal sawit di Kecamatan Wiwirano dan Kecamatan Asera telah berdampak luas pada
rusaknya kualitas lingkungan hidup. Tak hanya persoalan hilangnya akses ekonomi
masyarakat terhadap alam tetapi jauh
dari itu pembukaan lahan telah menyebabkan hilangkan keseimbangan ekosistem
hutan.
Dapat dibayangkan
berapa banyak jenis kayu kayu yang hilang dan berapa ribu jenis flora fauna
yang musnah saat pembukaan areal sawit. Pembukaan areal sawit lebih sporadis
dari perusahaan HPH yang menggunakan pola tebang pilih pembukaan areal sawit
benar-benar menghilangkan fungsi hutan dengan system babat habis. Kondisi ini
berdampak terjadinya banjir yang melanda pemukiman penduduk konawe utara setiap tahun. Bahkan pada tahun 2007
silam tercatat sejumlah desa di kecamatan asera luluhlantak dihantam banjir bandang
yang mengorbankan harta benda masyarakat. Dan Eskalasi bencana kian tahun kian dasyat. Terakhir di Tahun 2017- 2018 saat banjir bandang terdasyat yang melanda hampir seluruh kawasan Konawe Utara.
Catatan dinas Kehutanan Sultra dari sekitar 300 ribu hektar
hutan konawe utara hampir seluruhnya telah dikapling untuk pembukaan
areal pencadangan termasuk untuk lahan sawit.
Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara sendiri merasa tidak setuju
dengan pembukaan lahan sawit karena tidak memperhatikan aspek ekologi. Pembukaan
areal sawit tidak hanya berada di dataran dengan kemiringan lebih dari 35
derajat tetapi juga telah memasuki area kawasan hutan produksi dan hutan lindung.
Karena itu juga pihak kehutanan mencurigai dari sekitar
200 ribu hektar rencana pembukaan lahan sawit di sultra hanya separuhnya yang
benar-benar kebun sawit. Sisanya pohon-pohonnya ditebang dan lahannya dibiarkan terlantar. Contoh paling kongkrit
adalah lahan sawit wiwirano yang kini terlantar tanpa hasil.
Sebagaimana diatur
dalam pp nomor 34 tahun 2002 tentang tata cara pelepasan lahan maka seharunya
dimulai dengan tahapan pengusulan
investor sawit yang diajukan bupati selaku kepala daerah kabupaten yang
selanjutnya direkomendasikan oleh gubernur
dan diteruskan ke menteri kehutanan.
Bila mengacu mekanisme
tersebut, maka dipastikan hampir seluruh perusahaan sawit yang saat ini
beramai-ramai melirik sulawesi tenggara untuk menanamkan investasi tidak ada
yang memenuhi standar.
Ironisnya pemerintah
kabupaten berusaha memaksakan kehendak
mereka untuk tetap memberi ijin pembukaan lahan sawit, tanpa melakukan control
lebih mendalam terhadap apa yang sementara dilakukan perusahaan di lapangan.
Maraknya perluasan
sawit di konawe utara membuat Walhi mendesak pmerintah segera melakukan
moratorium atas segala perijinan perusahan sawit. ***
Comments
Post a Comment