Ruruhi Undercover - Part 3

Lokasi bekas penambangan di Desa Batu Jaya, Laonti, meninggalkan kerusakan lingkungan. foto: Yooshasrul



Tak dipungkiri Kabupaten Konawe Selatan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Hutan, gunung dan laut menjadi magnet yang dapat menyihir siapa saja yang berkunjung ke daerah berjuluk Negeri Laiwoi (Negeri Air). Sayangnya, bagi pemerintah setempat, kekayaan sumber daya alam itu, sebagian besar hanya diperuntukan untuk kegiatan industri ektraktif semata, seperti pertambangan, perkebunan. Alasan yang paling mendasar bagi pemerintah karena dua sektor tersebut dianggap memiliki sumbangan terbesar bagi pendapatan asli daerah (PAD) Konawe Selatan.

Pemerintah Konawe Selatan seolah terlena dan lupa jika dampak yang ditimbulkan dari investasi industri ekstraktif cukup besar bagi keberlangsungan hidup lingkungan hidup sekitarnya. Investasi di bidang pertambangan misalnya, para pelaku usaha cenderung hanya mengejar keuntungan dan melupakan kewajibannya untuk melakukan kegiatan-kegiatan rehabilitasi ulang lahan galian tambang mereka. Alih-alih melakukan kegiatan reboisasi fakta di lapangan banyak sekali lubang galian tambang yang dibiarkan menganga. Hal yang sama yang dihasilkan dari aktifitas perkebunan kelapa sawit yang terkenal dengan industri rakus lahan.

Aktifitas dari dua sektor ini dengan nyata telah memberikan sumbangsi terbesar pada hilangnya sumber-sumber air bagi rakyat, akibat rusaknya lingkungan di kawasan hutan alam. Kondisi ini, tak hanya hilangnya habitat flora dan fauna alam kita, tetapi juga menyebabkan bencana bagi kehidupan manusia di sepanjang lokasi yang dilalui tambang. Bencana alam seperti kekeringan, longsor, banjir hingga hilangnya mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan hutan dan di kawasan pesisir pantai akibat tercemarnya laut oleh lumpur tambang, menjadi ancaman serius bagi kehidupan rakyat. Kondisi ini dirasakan masyarakat di sejumlah wilayah, seperti Kecamatan Palangga, Palangga Selatan, Tianggea, Laonti dan di daratan Landono, Mowila yang terkena dampak perkebunan sawit.

Selain dua sektor tadi, Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan juga telah lama menaruh perhatian pada sektor lain seperti pertanian dan kelautan, yang lagi-lagi dinilai sebagai sektor yang dapat mendulang pundi-pundi PAD Konawe Selatan. Walau sebenarnya, peningkatan PAD dari tahun ke tahun belum pula terlalu maksimal, akibat, minimnya upaya yang lebih kreatif mendorong kemajuan dan peningkatan ekonomi di dua sector ini.


Pundi PAD seolah mengenyampingkan kehidupan rakyat alias dibuat tak berdaya yang menyebabkan ketergantungan bantuan berlebihan. Hampir tak ada upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat bisa mandiri berdasarkan potensi yang dimiliki masyarakatnya. 
Lantas, bagaimana dengan sektor pariwisata Konawe Selatan? Seperti diketahui, Kabupaten Konawe Selatan adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten ini hasil pemekaran dari Kabupaten Konawe yang disahkan dengan UU Nomor 4 tahun 2003, tanggal 25 Februari 2003 beribukota di Andoolo. Wilayah Konawe Selatan berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Kota Kendari di sebelah utara, Kabupaten Muna dan Selat Tiworo di sebelah selatan, Kabupaten Buton dan Kabupaten Kolaka di sebelah barat, serta Selat Wowonii di sebelah timur. Secara administratif, kabupaten ini terbagi menjadi 22 kecamatan dengan Andoolo sebagai ibukota kabupaten. Luas wilayah daratan Konawe Selatan, 451.420 Ha atau 11,83 persen dari luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan (laut) ± 9.368 Km2.
Tambang harus diakui berimplikasi cepat dengan perekonomian dibanding pariwisata, tapi tetap saja ceritanya menguras alam, dan suatu saat akan habis . Tapi pariwisata duitnya memang lambat asal alamnya dijaga, maka tujuh turunan akan menikmati. Karena tak terbantahkan semua manusia butuh wisata, belum tentu semua manusia butuh tambang. Inilah yang mendorong Ruruhi Project mengambil inisiatif membantu merubahan mainset warga dalam mengelola sumber daya alam yang  lebih ramah lingkungan dan pada gilirannya perubahan ini berimpikasi pada peningakatan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat di Desa Namu, Konawe Selatan.
Saya berkunjung ke Namu di bulan ke tiga, saat menjelang siang, di musim panas bulan Januari 2016. Perjalanan menuju perkampungan menyusuri rabat jalan desa yang sepi. Melewati danau kecil yang jernih. Menyaksikan alam pedesaan yang segar di hamparan karpet hijau perkebunan cengkih yang mulai membunting.
Di hampir semua dusun di namu menjemur hasil bumi menjadi pemandangan tersendiri sepanjang melewati perkampungan di sana. Warga memanfaatkan badan jalan untuk menjemur hasil bumi seperti kopra, jambu mete, cengkeh, lada dan pala. Halaman rumah dan pasir pantai yang hangat membuat biji cengkih dan jambu mete cepat mengering.
Tanah Namu adalah cermin kesuburan. Sepanjang Namu berdiri telah menjadi salah satu daerah penghasil cengkih di Kecamatan Laonti, Konawe Selatan. Sebagian besar hutan produksi di konversi menjadi areal perkebunan. Sejauh mata memandang perbukitan hijau ditumbuhi tanaman produktif. Ini wajar, karena, masyarakatnya memang tipe pekerja keras. Wajar kemudian setiap jengkal tanah dipijak sangat berharga, dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
Tanah-tanah ini memiliki sejarah panjang dan tak lepas dari peran pemimpin-pemimpin Namu sebelumnya, yang menggalakkan satu program melalui gerakan desa makmur merata.
Saya bertemu, ibu Fatimah yang tengah menjemur cengkih. Perempuan parubaya itu nampak riang menyambut saya dengan senyum hangat. Ia menyapa dengan bahasa lokal yang saya pahami. Telunjuknya mengarah ke selatan desa. “ Di sana tempatnya,’kata Fatimah menujuk sebuah areal cengkih dan kebun lada yang luas. “Terima kasih,”kataku sambil berlalu. Fatimah memberi petunjuk lokasi areal perkebunan desa.
Saya menuju lokasi yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter itu. Di sana saya menemukan hamparan cengkih terbentang luas. Bertemu orang-orang tengah membersihkan lahan. Aroma cengkih menyeruak.
Kisah desa-desa ini, mirip desa-desa di daratan Konawe, saat masih berjaya di sector pertanian. Dimana hasil panen melimpah dan setiap tahunnya kabupaten yang pernah dijuluki negeri “dewi sri” tersebut mendulang hasil pertanian cukup besar. Sayang kini pertanian mulai merana, seiring hadirnya pertambangan dan pelan-pelan ditinggalkan para petani. Air tanah menyusut membuat perkebunan kering kerontang. 

Dua kilo meter dari Namu. Tepat di Desa Batu Jaya, hamparan tanah hasil galian tambang menumpuk jelas di kawasan bukit di pinggir laut. Tambang miik PT. PNS ini nampak gersang. Kawasan itu kini tampak sepi. Makam-makam di Desa Namu ini masuk dalam wilayah konsesi nikel, yang sejak tahun 2009 di kuasai oleh PT PNS. Namun sejak 2013 lalu, konsesi lahan PT PNS pun kini dibiarkan terlantar. IUP PNS sebenarnya telah terbit di tiga desa masing-masing Desa Batu Jaya, Malaringgi dan Namu.

Ekspoitasi sumber daya alam Laonti ini kian nyata setelah pemerintah Konsel melakukan penerbitas di atas kurang lebih 12.000 hektar. Aktifitas penambangan sudah berlangsung di sepanjang pesisir yang menjadi bagain dari kawasan hutan lindung dan kawasan hutan margasatwa Tanjung Amolengu yang merupakan kawasan kerja BKSDA. Perairan lautnya kini menjadi lokasi lewatnya kapal pengangkut ore nikel. Seorang warga datang menghampiri saya. Ia berkelakar jika desa-desa  yang jaraknya tak seberapa jauh dari Namu yakni Tue-tue kini telah jatuh dalam  genggaman investor tambang. Kelakar itu membuat Saya tersenyum. Sebetulnya, hampir seluruh gugus pesisir Laonti sudah diploting menjadi area tambang, yang dimulai dari batas paling ujung Kecamatan Laonti yang berbatas dengan kecamatan Kolono Timur di Langgapulu.  termasuk Desa Namu.   Sejumlah warga pesisir mengaku jika perusahaan yang mengekspoitasi kawasan ini dimulai sejak periode konsel dipimpin Drs.H. Imran, MSi. Sejarah mencatat sebagian besar IUP tambang dan perkebunan sawit di Konawe Selatan merupakan buah karyanya. 

Setelah Kecamatan di daratan Konsel yang mengalami degradasi lingkungan dan kehancuran ekonomi, bayang-bayang kehancuran juga mulai menaungi Kecamatan Laonti. Daerah penopang ekonomi di bagian timur konsel menjadi areal pencanangan pertambangan baru yang gagas pemerintah kabupaten. Tak tanggung-tanggung Laonti diprediksi akan menjadi penyumbang PAD sector pertambangan setelah Palangga Selatan dan Tinanggea. Ini didasari dengan hasil penelitian kandungan deposit nikel yang cukup besar yang diperkirakan kurang lebih mencapai satu juta ton di perut bumi laonti.

Namun tak cukup sebulan pemerintah konawe Selatan pun mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengeuarkan IUP lahan tammbang di kawasan hutan konservasi itu. Dalam sekejab lahan-lahan yang bertanah merah itu dikerubuti ‘pemain-pemain baru’ dunia tambang. Wilayah konsesi ini kemudian dikenal sebagai kawasan pertambangan Laonti.
Langkah Pemda Konawe Seatan ketika itu begitu ‘ngotot’ itu benar-benar mulus tanpa menuai masalah. Ini mencuat proses eksplorasi yang dilaksanakan tahun 2010 tersebut dianggap tak menyalahi undang-undang oleh pemda setempat.

Klaim atas kebijakan dan kewenangan yang besar dari otonomi daerah, seolah melupakan hak-hak rakyat di sepanjang kawasan Laonti. Setidaknya tanah, kebun, rumah dan kuburan ini menjadi bukti bahwa rakyat punya hak atas tanah dan air mereka. Perusahaan-perusahaan pun diminta untuk menghormati mereka untuk tidak mengeploitasi semua yang ada di dalam tanah. “Tanah ini bukan hanya berisi nikel, tapi juga berisi belulang manusai yang terkubur din tanah ini,”kata Usman, warga setempat. Hari itu Usman tengah membersihkan kuburan leluhurnya, sebuah tradisi menjelang lebaran tiba. Mungkin saja inilah kali pertama sekaligus kali teraakhir Usman dan warga membersihkan kuburan ini. Sebab, kuburan yang berada di tanah konsesi tambang yang telah di olah itu. Tambang memang merebut segala-galanya dari tanah rakyat. Tak hanya tanah milik orang hidup, bahkan tanah tempat bersemayaam orang-orang yang mati pun diklaim untuk di ambil isinya.
Sayang jeritan hati rakyat, tak membuat pemerintah dan perusahaan-perusahaan prihatin. Bahkan cenderung masa bodoh. “Orang Hidup Saja Bisa dipindahkan apalagi orang mati,”kata-kata ini meluncur dari seorang pengusaha tambang. Sebuah kalimat yang menginjak rasa kemanusiaan. Ini terlontar setelah mendengar adanya banyak kuburan yang berada dalam wilayah konsesi tambang yang akan di eksplorasi tersebut.





Comments

Popular Posts