Hilang Jati Terbitlah Sawit
Dua puluh tahun lalu Konawe Selatan adalah sentra
hutan jati. Tumbuh subur di lahan-lahan Negara dan lahan milik masyarakat. Di
beberapa tempat, seperti, moramo, kolono dan lainea jati tumbuh hingga di
pinggir jalan raya utama. Jati adalah
sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus,
dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim
kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak.
Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara
bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiahnya Tectona grandis, dari Famili Lamiaceae, Kelas Magnoliopsida. Jati Konawe Selatan sebagian besar hasil dari program penghijauan
yang digalakkan pemerintah orde baru di atas lahan Negara seluas 24.538,29
Ha.
Pengelolaan hutan
jati di konsel dimulai dari proyek reboisasi tahun 1969-1970 sampai tahun 1981
kemudian dilanjutkan dengan program hutan tanaman unggulan lokal (jati) antara
tahun 1989-1990 sampai tahun 2003. Sayangnya program penghijauan ini tak dibarengi dengan pengawasan yang serius,
akibatnya perlahan areal hutan jati diwilayah itu hancur atau habis oleh
kegiatan yang tidak terkendali dan tidak memenuhi prosedur hukum.
Laju
deforestrasi sumberdaya hutan yang terjadi di bumi laiwoi, paling terbesar
disebabkan oleh maraknya pembalakan liar (illegal logging), utamanya yang
diprakarsai oleh sejumlah pengusaha kayu illegal atau cukong yang memanfaatkan
sejumlah masyarakat lapisan bawah yang hidup dibawah garis kemiskinan. Kuatnya
desakan ekonomi dan himpitan kemiskinan yang melilit sebagian besar masyarakat,
mengakibatkan masyarakat berfikir jangka
pendek, utamanya dalam mencari sumber-sumber pendapatan ekonomi untuk menunjang
keberlangsungan hidup.
Seperti halnya hutan jati, industri kayu tumbuh
subur di sana. Pasca reformasi, terdapat
sekitar 200-an industry kayu yang beroperasi di Konawe Selatan. Jumlah industry
yang cukup besar ini tak sebanding
dengan pasokan kayu yang ada untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk
industry. Kondisi kian diperparah dengan praktik korupsi oknum-oknum petugas
Negara yang turut andil memuluskan praktik illegal di kawasan hutan Negara.
Praktik koruptif di sector kehutanan ini tidak saja merugikan keuangan Negara
dan menciptakan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan, tetapi lebih dari itu
telah andil meningkatkan laju kerusakan lingkungan di wilayah konawe selatan.
Fungsi hutan sebagai paru-paru alam tidak lagi dapat menahan laju erosi
menyebabkan banjir besar di kawasan ini.
Hilangnya sumber daya hutan sepanjang dua puluh
tahun terakhir, bukannya menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah daerah di Sulawesi Tenggara, tetapi justeru kian membawa kehancuran yang mengancam lingkungan di
masa-masa mendatang. Fase yang cukup kasat mata ini terlihat manakala
pemerintah sulawesi tengga khususnya pemerintah kabupaten konawe selatan memberikan ruang sebesar-besarnya kepada investor
perkebunan kelapa sawit menanamkan investasinya di daerah ini. Ini ditandai
dengan dibukanya lahan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2013 silam. Sejumlah
perusahaan sawit berskala besar, seperti PT Merbau, PT DJL milik Sitorus,
hingga perusahaan milik mantan menteri pertanian, Amran Sulaeman, sudah melakukan ekspansi pembukaan lahan sawit di seluruh
wilayah kecamatan di Konawe Selatan yang berjumlah 26 kecamatan. Terdapat
tempat kawasan terkonversi paling luas
masing-masing kawasan hutan di kecamatan laeya, kecamatan lainea, kecamatan
kolono dan kecamatan palangga, yang merupakan kawasan inti hutan jati konawe
selatan. Empat kawasan ini dulunya dikenal sebagai kawasan jati HTI yang
membentang di atas lahan seluas 300.000
hektar. Konversi lahan ini telah menembus kawasan inti HTI di pegunungan puupi.
Saat
melakukan reportase, Saya menyaksikan pengahancuran besar-besaran kawasan hutan
jati yang luar biasa masiv, kelapa sawit di daerah ini telah mencapai usia
berbuah.“15 tahun lalu, kita masih menyaksikan hutan jati di kawasan ini,
bahkan jati tumbuh sejauh mata memandang. Tapi kini hutan jati telah berganti
dengan perkebunan sawit,”kata Udin, warga Lainea.
Diperkirakanan hingga tahun 2025 lahan sawit di
Konawe Selatan mencapai 400 ribu hektar.
Kelapa sawit atau Elaeis adalah
genus dari Arecaceae yang memiliki dua spesies. Tumbuhan ini digunakan untuk
usaha pertanian komersial dalam produksi minyak sawit. Kelapa sawit Afrika
Elaeis guineensis adalah sumber utama minyak kelapa sawit.
Selain Afrika, Negara-negara penghasil minyak sawit terbesar berada di benua
Asia termasuk Indonesia.
Oleh ilmuwan tanaman kelapa sawit tergolong tanaman
rakus air dan tidak ramah lingkungan. Pembukaan lahan sawit nyaris tidak
menyisakan satu pohon pun hutan alam, dipastikan seluruh ekosistem hutan lenyap
tak tersisa melalui proses land clearing atau
Proses pembersihan lahan sebelum aktivitas penanaman sawit dimulai.
Tahapan pekerjaan penambangan umumnya diawali dengan mempersiapkan lahan, yaitu
mulai dari pemotongan pepohonan hutan, pembabatan sampai ke pembakaran.
Praktik korversi lahan hutan menjadi areal
perkebunan sawit ditentang banyak pihak, terutama para penggiat kehutanan
sosial. Pasalnya, pemerintah dianggap mbalelo
dengan program kehutanan yang telah ada sebelumnya, yakni program pengelolaan
hutan berbasis masyarakat, sebagaimana telah diatur secara terbuka oleh
Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan bersama legislatif melalui produk hukum
dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) nomor 35 tahun 2005 tentang Izin
Pemanfaatan Kayu Hutan Hak atau Hutan Rakyat (IPKHHHR). “Ini sama saja membenturkan
antara masyarakat dan pengusaha sawit,”kata Abdul Halik, dari Jaringan untuk
Hutan (JAUH) Sulawesi Tenggara.
Anomali kebijakan pemerintah ini memang sungguh
disayangkan, di tengah kuatnya inisiatif masyarakat mengelola kawasan hutan
secara lestari. “Ini sangat bertolak belakang dengan inisiatif yang sudah
terbangun sepuluh tahun terakhir, dimana masyarakat sudah mau mengelola hutan
secara lestari dan harus diperhadapkan dengan pola perusahaan perkebunan yang
sangat merusak lingkungan,”jelasnya.
Tidak mudah mengubah
persepsi masyarakat hingga ke tahap pelestarian hutan, di konawe selatan
setidaknya dibutuhkan waktu sepuluh tahun mengajak warga untuk pro lingkungan. Proses pengawalan pengelolaan hutan masyarakat di Konsel
yang dikenal melalui program Sosfor, pada awalnya telah dilakukan di 46 Desa 4
kecamatan yang melibatkan kurang lebih 8000
KK di Konsel, dengan areal yang akan dikelola mencapai 38. 959 Ha.
Dari jumlah ini, kurang lebih 24
ribu Ha potensinya adalah hutan jati yang ditanam melalui proyek reboisasi
kehutanan sampai proyek HTI terakhir tahun 2002. Dari proses itu, kemudian
dikaitkan dengan UU nomor 41 tentang Kehutanan dimana disitu diatur mengenai
keterlibatan masyarakat disekitar hutan yang penjabarannya bahwa masyarakat bersama-sama dengan pemerintah
mengelola hutan diareal tanah milik maupun tanah negara.
Dalam pengelolaan ini, tiga tujuan mendasar yang akan
dicapai, Pertama aspek sosial.
Masyarakat yang terhimpun didalam wadah koperasi, memegang prinsip bekerja
bukan karena uang tetapi bersatu bersama-sama untuk melakukan pengelolaan
hutan. Kedua, Aspek ekologi, dimana masyarakat dalam mengelola hasil hutan
menerapkan aturan-aturan main yang jelas, melakukan pemetaan bahwa diareal
sumber air tetap harus dipertahankan termasuk menjaga satwa-satwa yang
dilindungi. Ketiga, aspek ekonomi, dimana masyarakat memasarkan hasil hutan
tanah miliknya melalui proses
sertifikasi ekolabeling. Apa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini hanya
sebatas konseptual tetapi aktualisasinya sebenarnya ada dipengelolaan hutan
masyarakat di Konsel.
Contohnya, meskipun masyarakat menanam jati diareal tanah
miliknya sendiri tetapi tetap dilakukan tebang pilih, minimal diameter pohon
yang akan ditebang diatas 100 cm dengan umur kurang lebih 30 tahun. Karena
hitungannya, pertumbuhan kayu jati hanya berkisar antara 1 m , 1 cm
perkembangannya dalam setiap tahun sehingga minimal 30 tahun baru mereka panen.
Kemudian Proses lacak balak kayu dari mana sumber kayu, termasuk memperkuat
pendampingan masyarakat dalam pengelolaan hutan diareal tanah milik.
Namun sayang keinginan masyarakat mengelola dan menjaga kawasan hutan masih menghadapi problem besar,
tatkala pemerintah konawe selatan justeru member ruang baru
kepada investor perkebunan sawit.
Penulis:
Yoshasrul
Editor:
Yoshasrul
Comments
Post a Comment