Cerita Perempuan dan Pilkada di Wakatobi


DESA Tampara adalah desa kecil yang berada di bawah kaki benteng kamali, Wakatobi, yang merupakan benteng pertahanan kesultanan Buton di masa lampau. Dulunya, Desa ini adalah desa induk dari tiga desa (desa pajang, desa peropa dan desa kamini) yang kini saling bertetangga. Rumah-rumah warga tertata rapi. Semuanya berbentuk panggung dan bahan bangunnya kebanyakan terbuat dari kayu.
Tak seperti di desa-desa lain di pulau karang Desa Tampara dianugerahi tanah yang subur berwarna kehitaman, sehingga warga bisa menanam aneka tanaman. Kesuburan tanahnya itu pula Desa tampara juga lebih dikenal orang sebagai kampung Jamaraka yang berarti subur.  Sebagian besar masyarakat kampung mayoritas petani.
Dari tanah yang subur itu , warga menanam tanaman jangka pedek seperti  singkong, jagung  dan pisang sebagai tanaman alternative. Hasilnya dari kebun inilah yang menghidupi masyarakat dan keluarganya. Jika kaum laki-laki menanam maka dari pukul dua malam Ibu-ibu di desa sudah  bahu membahu   bekerja keras. Dari singkong, jagung dan pisang  Mereka  membuat aneka makanan salah, diantaranya  makanan khas wakatobi,  Kasuami. Kasuami adalah makanan tradisional pengganti nasi. Berbahan baku singkong yang proses pembuatannya memakan waktu dan tenaga. Kasuami dijual ke sejumlah wilayah pulau kaledupa. “Kami membuat kasuami dengan berkelompok, jumlahnya bervariasi, ada yang 10 orang dan ada juga 20 orang. Kasuami kami juga ke desa dan juga ke orang laut di kampung laut sana,”kata Sariani, ketua kelompok usaha kasuami mina, Desa Tampara.
Warga Desa sangat bersyukur  karena akses jalan ke desa mereka kini sudah mulus beraspal, yang terhubung ke seluruh wilayah kecamatan. Warga juga  dapat menikmati air bersih yang diperoleh dari sumber mata air yang deras di ujung desa, air mengalir melalui pipa yang dibangun secara swadaya. “Kami membayar air hanya dengan  Rp 3000 saja setiap bulannya. Namun bukan pelosok namanya jika tidak ada masalah, terutama urusan penerangan listrik. Listrik hanya menyala saat menjelang malam dan padam di waktu pagi buta. Meski begitu pembayaran listrik melambung jauh.  Setiap bulannya warga harus menanggung biaya pemakaian listrik sampai ratusan ribu rupiah. Padahal rata-rata warga hanya menggunakan dua mata lampu (18 watt) dan sebuah televise. Warga berkali-kali menyoalnya, tapi tak pernah ada tanggapan.
Seperti halnya di daerah-daerah lain, urusan politik warga di pelosok khususnya di kaledupa selatan cukup aktif. Khususnya saat musim pemilukada tiba, warga berbondong-bondong mendatangi TPS untuk memilih. Dari data yang diperoleh, perempuan wajib pilih di desa tampara sebanyak 369 orang sedang laki-laki 350 orang, hamper semuanya memilih.
Pada kegiatan “Program Mendorong Partisipasi Aktif Perempuan Dalam Pemilukada Sultra” sebagain perempuan juga aktif mengawalnya hingga saat pesta demokrasi pemilihan gubernur Sultra, November 2012 silam.
Banyak cerita berwarna di sana. Saat ditemui sebagian responden bercerita saat pemilukada sama sekali tidak berniat memilih, karena lebih mementingkan pekerjaan mereka. Ada juga yang  memilih karena terpaksa, saat tidak adanya pilihan bagi mereka.
Umumnya pemilih perempuan  di desa tidak terlalu peduli dengan urusan politik. Perempuan desa lebih memikirkan urusan dapur mereka, yang umumnya bekerja sebagai petani, pedagang  dan ibu rumah tangga. Berikut  sepenggal dari kisah kaum perempuan di Kaledupa Selatan.






Ibu Sariani (35 tahun)
 Sariani perempuan kuat dan selalu optimis. Soal politik Sariani punya pendapat sendiri. Ia kurang setuju jika perempuan tidak berpolitik. Baginya perempuan perlu ikut terlibat politik agar tidak diperbodohi oleh kaum laki-laki. Sebab, selama ini perempuan hanya menjadi penyumbang suara, tanpa banyak dilibatkan maupun melibatkan diri dalam dunia politik. “Kalau kaum laki-laki bisa berpolitik, maka perempuan juga harus bisa,”katanya. 
Hanya saja, meski ada calon perempuan yang maju di pemilihan gubernur, maka Ia tidak serta merta memilihnya, karena harus melihat dulu apakah visi misi sesuai dengan harapan kaum perempuan atau tidak. “Ya, kita liat dulu program dan visi misi dia, kalau pro perempuan ya kita pilih, kalau tidak ya minta maaf,”katanya.  Desa Tampara, Kecamatan Kaledupa Selatan menjadi daerah kelahirannnya.  Sariani sendiri pertama kali terlibat dalam program Program Mendorong Partisipasi Aktif Perempuan Dalam Pemilukada Sultra ini saat bertemu dengan Ningsi. Keduanya terlibat diskusi hangat terkait isu-isu tentang kepentingan perempuan. Semula Ia mengira Ningsi adalah tim sukses dari salah satu calon, tapi setelah mendengar penjelasan tentang isu perempuan Sariani akhirnya luluh dan tertarik. Dan menariknya dari diskusi bersama Ningsi itu Ia juga menulari isu hak-hak perempuan kepada anggota kelompoknya. Dan itu masih sering Ia diskusikan bersama ibu-ibu kelompoknya sampai sekarang.
Sariani adalah isteri dari Hasanudin petani desa yang sukses. Diperkawinan mereka yang sudah berumur  dari satu dasawarsa kini telah dikaruniai tiga orang anak. Di desanya, perempuan enerjik ini adalah Ketua Kelompok Usaha Kasuami Mina dengan membawahi 20 orang anggota. Mereka bekerja keras membangun usaha pembuatan makanan siap saji kasuami yang terbuat dari ubi kayu/singkong. Usaha ini dibangun swadaya dan belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Selain usaha makanan kasuami, Sariani juga berbisnishasil laut  berupa teripang yang dikumpulkannya dari nelayan di pesisir kaledupa.
Saat pemilukada Sariani adalah ketua Panitia Pemilihan Suara. Namun  soal memilih Ia   mengaku tidak ada tekanan atau paksaan, baik dari suami maupun kepala desa atau tim sukses. “Saya memilih sesuai nurani saja,”katanya. Di Pemilukada Ia mengaku memilih pasangan Ridwan Bae karena mengetahui dari program visi misi yang dibacanya. “Visi misinya sangat pro rakyat dan peduli dengan perempuan,”kata Sariani.
Sariani sendiri mengaku menikmati program pemerintah berupa kesehatan gratis jamkesmas dan pendidikan gratis melalui program bahteramas untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Ibu Mahirun (41 tahun)
“Bagi saya pemimpin itu harus jujur dan bijaksana dan peka pada nasib rakyatnya,”kata ibu Mahirun (41 tahun) saat ditemui di kediamannya. Baginya, pemimpin juga harus dapat memberikan bantuan pekerjaan pada masyarakat seperti dirinya.
Mahirun adalah janda yang harus menghidupi tiga anaknya seorang diri. Suaminya yang hanya seorang petani kecil,  di panggil Yang Maha Kuasa tiga silam. Saat itulah dirinya mengambil alih tulang punggung keluarga.
Ia harus bekerja serabutan dan melanjutkan pekerjaan suaminya sebagai petani singkong dan membuat kue untuk dijajakan keliling kampung. Kerja dilakukan demi menyekolahkan anak-anaknya. “Yang penting anak-anak bisa sekolah,”katanya lirih.
Kerja kerasnya perlahan mulai terlihat, dimana  anak tertuanya kini tengah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dan dua anaknya masih di bangku sekolah menengah umum dan pertama.
Suatu hari Ia bertemu dengan Ningsing surveyor, yang mendatangi rumahnya. “Saya tadinya dia itu tim sukses yang mau pengaruhi kita memilih seseorang, tapi setelah dia jelaskan programnya barulah saya mengerti.  Kepada Mahirun, Ningsih bercerita jika tengah meengerjakan program pendataan perempuan menjelang pemilukada dan menjelaskan pentingnya perempuan ikut berpartisipasi secara aktif di politik. “Saya senang saja, apalagi terkait perempuan,”katanya, sembari tersenyum. Tak hanya sekali, Ningsi setiap kesempatan selalu mengingatkan kaum ibu di desanya untuk mengetahui hak-hak mereka sebagai perempuan.
Selama ini Ia belum melihat ada pemimpin yang demikian sesuai criteria dirinya. Selama ini para calon datang dan hanya mengumbar janji.


Ibu Maarifa (35 tahun)
Sejak Indesi, suaminya, meninggal dua tahun lalu, Maarifa (35 tahun) praktis harus menghidupi empat orang anaknya seorang diri. Ia bekerja keras  menyekolahkan anak-anaknya. “Yang  tertua kini sudah sekolah di SMA, sedang adik-adiknya duduk di SMP dan SD,”kata Maarifa.
Seperti halnya, ibu-ibu di desanya, di pesta pemilukada lalu, Maarifa hanya sekedarnya saja memiilih. “Saat masuk bilik suara saya buka kartu suara dan langsung mencoblos saja. Saya ingat saat itu saya pilih  nomor urut 1, saya lupa siapa nama calonnya, saya pilih saya karena suka saja dengan nomor 1, saya tidak tau siapa orangnya, juga program visi misinya,”kata Maarifa, tersenyum.
Di kesempatan itu Maarifa menyayangkan tidak adanya calon perempuan yang maju sebagai calon gubernur. “Andaikan ada perempuan yang mencalonkan diri di pemilukada pasti saya orang yang pertama memilih perempuan,”kata perempuan yang kini terpaksa menumpang hidup dengan orang tuanya.
Ia beralasan memilih perempuan karena akan mengerti dengan nasib perempuan seperti dirinya. “Sosok perempuan itukan lembut, jadi tau perasaan perempuan,hanya saja kemarin tidak ada calonnya,”ungkapnya.
Selama ini, Maarifa merasakan adanya ketidakadilan politik terhadap perempuan, terutama di kampungnya. Dimana perempuan hanya dianggap sebagai tukang masak, tunkang jaga anak dan tidak boleh berpolitik.  Tak heran banyak sekali program yang tidak sesuai  harapan perempuan seperti tidak adanya program bantuan usaha bagi keluarga miskin  agar bisa mandiri bekerja. Ia menambahkan criteria pemimpin yang didambakan, yakni pemimpin yang pro rakyat dan tidak terlibat korupsi. “Kalo pemnimpin korupsi yak e neraka saja…,”katanya sambil tertawa.
Meski begitu, diakuinya selama ini sudah ada program yang sedikit menyentuh kebutuhan dasar perempuan seperti kesehatan gratis melalui jamkesemas dan pendidikan gratis. Hanya saja pendidikan gratis hanya berlaku  untuk anak sekolah dasar. “Kalau bisa SMP dan SMU juga bisa digratiskan,”harapnya.
Ibu Elda (30 tahun)
Elda adalah penggemar berat Gubernur Nur Alam. Di pemilukada  November 2012 silam Ia kembali menjatuhkan  pilihan pada pasangan NUSA.“Saya pilih dia karena beliau peduli masyarakat, tidak hanya di perkotaan tapi juga di pedesaan,”kata Elda. Elda juga dapat mengenali calon pasangan NUSA saat berkampanye di Kaledupa. “Dia satu-satunya calon yang datang ke kaledupa dan di sana saya mendengar langsung program yang di sampaikannya,”katanya.
Lanjut Elda, program pasangan incumbent dapat dia nikmati seperti kesehatan gratis (jamkesmas) dan pendidikan gratis khusus anak sekolah dasar. Hanya saja sampai kini program moda usaha belum diberikan. “mudah-mudahan program modal usaha bisa diberikan, agar kaum perempuan bisa berdaya”harapnya.
Memilih pasangan NUSA baginya adalah panggilan hati nurani, walau begitu bukan berarti Ia tak menaruh perhatian pada urusan politik perempuan. Baginya perempuan layak jadi pemimpin seperti halnya kaum laki-laki. Hanya saja saat ini perempuan belum banyak  yang mau terjun menjadi pemimpin, sehingga minim calon perempuan,”katanya. “Hampir bertahun-tahun pemimpin di daerahj ini selalu saja laki-laki, belum pernah ada perempuan. Jadi sudah saatnya perempuan juga maju menjadi calon,”katanya. Memilih NUSA adalah pilihan alternative,  Jika saja ada calon perempuan, mungkin saja saya pilih,”pungkasnya.
Ibu Elda (30 tahun) adalah ibu rumah tangga sederhana. Isteri dari pria bernama Polira. Keduanya sudah menikah lebih dari delapan tahun. Dari pernikahan itu, kedunya dikarunia dua orang anak yang kini bersekolah di bangku sekolah dasar.
Untuk menghidupi anak-anaknya, Ibu Elda harus bekerja keras membuat kasuami yang akan dijual ke sejumlah wilayah di kaledupa selatan. Kasuami adalah makanan tradisional pengganti nasi. Berbahan baku singkong yang proses pembuatannya memakan waktu dan tenaga. Di kaledupa selatan hamper sebagian besar masyarakatnya bertani singkong dan jagung sebagai tanaman alternative.
Tak seperti di daerah lain di kaledupa yang umumnya berbatu karang, sebagian tanah kusuhnya di kecamatan kaledupa selatan adalah tanah subur berwarna hitam, sehingga aneka tanaman bisa tumbuh  subur seperti pisang, jangung dan ubi kayu.
Warga Desa Pajala sangat bersyukur dapat menikmati air bersih. Air diperoleh dari sumber mata air yang deras di ujung desa, air mengalir melalui pipa yang dibangun secara swadaya. “Kami membayar air hanya dengan  Rp 3000 saja setiap bulannya. ***
Ibu Habiyah (35 tahun)
 Perempuan satu anak dari perkawinan dengan Salimudin. Ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan. Ia hanya berharap dari suaminya yang hanya seorang petani singkong. Suaminya di musim tertentu terkadang menjadi perantau ke bangkabelitung untuk buruh timah. Saat pemilukada Habiyah memilih pasangan Ridwan Bae yang diakuinya  hanya sekedar memilih.
“Saat pemiluda saya juga memilih, tapi hanya ikut-ikutan saja memilih nomor urut 3 karena dengar-dengar dari orang programnya bagus. Lagian Saya tidak kenal para  calon gubernur itu,”katanya.
Untuk urusan politik, Habiyah mengaku tidak peduli, lagi pula selama ini Habiyah tidak terlibat partai politik sehingga Ia mengaku sangat buta dengan politik.
Lagi pula, selama ini Habiyah mengaku sama sekali tidak pernah merasakan bantuan langsung dari pemerintah berupa bantuan simpan pinjam dan sejenisnya, selama ini Ia hanya memperoleh bantuan kesehatan gratis dan pendidikan gratis anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Meski pendidikan gratis, namun kenyataannya Ia masih harsu membeli seragam dan buku-buku sekolah anaknya. Demikian pula soal kesehatan Ia hanya mendapat kesehatan gratis di puskesmas, tetapi saat ke dokter Ia harus membayar sebesar 80 ribu rupiah.
Habiyah pertama kali mendengar program perempuan dalam pemilukada dari Ningsih surveyor wilayah kaledupa, tepatnya dua bulan sebelum hari H pemilukada. Pertemuannya dengan Ningsih membuka rasa empati dan kepeduliannya pada nasib perempuan. Hanya saja Ia sayangkan tidak ada calon gubernur dari perempuan sehingga membuat Ia kembali meilih laki-laki. Hanya saja, meski ada calon perempuan yang maju di pemilihan gubernur, maka Ia tidak serta merta memilihnya, karena harus melihat dulu apakah visi misi sesuai dengan harapan kaum perempuan atau tidak.

Karmila (31 tahun)
 Rumah panggung Karmila sedikit berantakan. Di ruang tamu, sejumlah barang dagangan bergelantungan di dinding dan lemari. Menandakan ibu dua anak ini adalah pedagang.  Di desanya, Karmila  adalah salah satu dari sekitar delapan pedagang sembako yang ada saat ini. “Ya beginilah pekerjaan sehari-hari saya, sebagai pedagang sembako,”katanya saat disambangi Senin malam lalu.
Anak Karmila sudah mulai besar-besar. Hasil perkawinanya dengan pria sekampungnya, Rumisi. “Dua anak saya sudah bersekolah. Satu di SD satunya lagi di SMP,”katanya. 
Karmila mengaku di pemilukada lalu Ia ikut berpartisipasi menyalurkan hak pilihnya. Ia menjatuhkan pilihannya ke pasangan Ridwan Bae. “Saya memilih pak Ridwan Bae karena programnya bagus,”katanya.
Saat ditanya program apa saja yang dibawa Ridwan Bae, Karmila hanya menjawab program yang berkaitan dengan rakyat, misalnya pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Karmila juga mengaku Ridwan memiliki program yang mendukung perempuan seperti pemberian modal usaha dan kredit lunak pada petani. Baginya pemimpin itu harus adil dan bisa memikirkan solusi bagi masyarakat miskin dan terpenting pemimpin tidak hanya memikirkan diri sendiri apalagi sampi korupsi.
Soal perempuan berpolitik, Karmili mengaku belum terlalu memikirkan. Tapi bukan berarti perempuan tidak pantas memimpin. Meski ada perempuann yang maju menjadi calon, tapi tidak lantas akan langsung dipilih, melainkan dilihat dulu program visi misinya, apakah berpihak pada kepentingan perempuan atau tidak. “Ya, kita harus liat dulu juga apa programnya, apakah mampu memperjuangkan isu perempuan atau tidak,”ujarnya.

Mina (46 tahun)
Umurnya sudah lanjut. Bicaranya pun terbata-bata. Isteri dari Laode Harlisi ini hanya bisa menjawab beberapa pertanyaan  dengan sebisanya saja. Inilah saat ditanya siapa saja calon gubernur pada pemilukada November 2012 silam.
“Terus terang Saya tidak tau nama-nama mereka (calon gubernur) itu,”katanya. Dan saat di bilik suara Mina pun hanya bisa menusuk secara acak. “saya tidak salah saya pilih Nomor urut 2, tapi saya tidak atu namanya,”katanya lagi, sambil tersenyum.
 Wajar saja saja jika Mina tidak tau karena berbagai factor, salah satunya minimnya sosialisasi dari penyelenggara pemilukada yang dating ke daerahnya. Kondisi ini membuat banyak sekali warga khususnya perempuan di pelosok benar-benar ‘buta’ untuk urusan pemilukada, sehingga mereka tidak mengetahui siapa saja calon-calon gubernur saat itu.
Baginya mau calon gubernurnya laki-lakiatau pun perempuan itu sama saja. “Yang penting mereka adil pada rakyat,”katanya. Ia menambahkan, pemimpin juga harus jujur bisa memberikan keadilan pembangunan yang adil bagi desa-desa terpencil seperti di desanya.
Ia juga bersyukur jika selama ini sudah ada penddidikan gratis dan kesehatan gratis, bantuan beras murah untuk masyarakat miskin yang digulirkan pemerintah. Namun itu pun hanya sebagian saja yang merasakan, itu pun hanya mereka yang mau memilih calon gubernur. Jadi masih ada diskriminasi dan ketidakadilan. 
Di perkawinannya  yang sudah lebih tiga puluh tahun itu Ia hanya dikaruniai satu orang anak, yang kini sudah menikah. Sehari-hari Mina membersihkan kebun dan juga berjualan sembako kecil-kecilan. Puluhan tahun sudah Ia tinggal di rumah panggung yang  seluruh bahan bangunan hanya terbuat dari papan yang mulai usang termakan usia. Ia berharap pemerintah dapat memberikan bantuan untuk menunjang usaha sembakonya itu. Pernyataan polos yang ditunjukkan Mina ini  adalah cerminan dari berbagai problem penyelenggaraan pesta demokrasi di Sulawesi Tenggara. Sekaligus potret buram yang dialami masyarakat marginal dan miskin di pelosok.

Comments

Popular Posts