Sengkarut Tambang Sultra



Sejak bisnis warung kopi merebak di Kota Kendari, setidaknya sudah ada delapan warung kopi paling bersinar di kota ini. Warung-warung ini tersebar di berbagai sudut kota, dari yang modern hingga yang masih bertahan dengan cita rasa tradisional, menjadikan peluang bisnis ini disambut sebagian besar warga sebagai lokasi bersantai untuk berbagi cerita. Di pertengahan 2009, seiring dengan dibukanya kran bisnis tambang,  warung kopi pun menjadi sasaran para pebisnis tambang, baik di local maupun nasional. Mereka menjadikan warung kopi lokasi paling favorit untuk berdiskusi. Setiap hari mereka menyerbu warung  untuk berbagi infomasi seputar lokasi-lokasi yang akan dijadikan sasaran bisnis. Mereka bisa berjam-jam di sana,  siang dan malam membahas tambang. Istilah paling populer bagi para pebisnis tambang adalah makelar. Namun jangan salah tak sedikit dari  para makelar ini kini telah berhasil menjadi direktur tambang.

 “Saya merancang masa depan bisnis tambang dari warung kopi ini, dan saekarang sudah menjadi direktur, tentu kelas diskusinya pun meningkat di kafe ekslusif,”kelakar  Hidayat, seorang  pebisnis tambang.

Cerita Hidayat sebelumnya, dirinya dan beberapa rekan bisnis mempelajari seluruh regulasi, baik perundang-undangan maupun peraturan pemerintah hingga  perda yang mengikat. Di sana pula  mereka membagi peran, ada yang   bertugas mencari investor, mencari lahan hingga yang bertugas mengurus ijin usaha pertambangan di pemerintahan.

Bisnis tambang memang menjanjikan.Tak hanya lahan yang bisa menghasilkan uang, tapi bisnis angkutan seperti alat berat dan truk juga  mampu menghasilkan miliaran rupiah. Dari bisnis angkutan bisa diperoleh duit yang tidak sedikit, hanya bermodal jadi join operasional (JO)  tinggal menyediakan kendaraan angkutan (truk) untuk mengangkut ore dari lokasi ke pelabuhan angkut. 

Seorang rekan yang kini sukses berbisnis sebagai penyedia angkutan mengaku hanya bermodal dua truk dan kini Ia sudah memiliki sedikitnya sepuluh truk sendiri dan dua puluh truk sewaan. Ia mengantongi ijin setelah membentuk satu perusahaan jasa angkutan sendiri. Keuntungan yang diraup sungguh besar karena harus mengikat kontrak dengan perusahaan yang membutuhkan. 

Rian salah satu rekan yang kini menggeluti bisnis tambang mengaku berbulan-bulan berburu investor asing di Jakarta. Padahal dirinya sama sekali tidak memiliki modal uang yang cukup. “Saya beradu keberuntungan saja. Dan hasilnya lumayan, bisa berrtemu dengan para pengusaha tambang di hotel-hotel kelas mewah,”katanya.

Ya, dalam dua dekade terakhir pasca runtuhnya orde baru, Sektor pertambangan provinsi Sulawesi Tenggara cukup potensial dan menjadi perhatian investor nasional maupun asing yang bergerak di bidang pertambangan. Bumi anoa memiliki kandungan tambang yang sangat potensial dan telah banyak perusahaan yang telah melakukan eksplorasi utamanya kabupaten Buton, Konawe, Konawe Utara, dan Bombana. Ini membuktikan Sulawesi Tenggara memiliki potensi pertambangan yang dapat diandalkan, namun belum dioptimalkan pemanfaatannya.

Potensi pertambangan yang dimiliki oleh Sulawesi Tenggara diantaranya adalah Tambang aspal di Kabupaten Buton, tambang emas di Kabupaten Bombana, Tambang nikel di kabupaten Kolaka, Konawe Utara dan Konawe, potensi tambang marmer, batu granit dan krom tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara dan untuk potensi tambang minyak di Kabupaten Buton Utara dan Buton. Khusus untuk tambang aspal, beberapa perusahaan pemegang kuasa pertambangan (KP) untuk melakukan eksplorasi.

Seperti diketahui, sejarah pertambangan nikel di Kabupaten Kolaka (sebagai mana diulas Harian Kompas) bermula pada tahun 1909 EC Abendanon, seorang ahli geolog asal Belanda, menemukan bijih nikel di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Eksplorasi bijih nikel sendiri baru dilaksanakan pada tahun 1934 oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) melakukan ekspor ke Eropa. Pada tahun 1948 Sumitomo Jepang mengambil alih pengelolaan nikel di Sulawesi Tenggara, tetapi tidak sempat mengekspor karena Jepang kalah pada perang dunia kedua lalu ddiambil Bone Tole Maatschappij. Setelah itu pada tahun 1957 pengelolaan nikel di daerah ini diambil alih oleh NV. Terto dan kemudian oleh Aneka Tambang.

Pengapalan pertama 150.000 ton hasil tambang itu dilakukan OBM empat tahun kemudian ke negara Jepang. Nikel dimanfaatkan sebagai penyalut karena tahan karat dan keras. Percampuran antara nikel dengan tembaga misalnya, digunakan untuk membuat sendok dan garpu.

Dalam perkembangan sejarah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 1960 dan Undang-Undang (UU) Pertambangan Nomor 37 Tahun 1960, Pemerintah RI mengambilalih penambangan tersebut dan berdirilah PT Pertambangan Nikel Indonesia (PNI). Penambangan logam putih berlambang kimia Ni ini, kemudian terbukti memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Saat Sultra berupaya menjadi daerah otonom yang lepas dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), sumber daya alam Kabupaten Kolaka itu diyakini mampu menjadi sumber ekonomi untuk mengelola rumah tangga sendiri.

Wilayah di jazirah tenggara Pulau Sulawesi itu kemudian ditetapkan menjadi provinsi baru, melalui UU No 13/1964. Dalam logo provinsi yang berhari jadi tanggal 27 April ini terdapat warna coklat sebagai lambang tanah yang mengandung nikel di Kabupaten Kolaka. Waktu terus bergulir. PT Pertambangan Nikel Indonesia di-merger dengan enam perusahaan negara lainnya seperti PN Logam Mulia pada 5 Juli 1968 dan berubah menjadi PT Aneka Tambang. Areal kuasa pertambangan di Pomalaa ini-yang mencatatkan sahamnya di pasar modal pada tahun 1997-luasnya 8.314 hektar. Selain bijih nikel, perusahaan ini juga memproduksi feronikel atau feni yang merupakan paduan logam antara nikel dan besi (fero).

Tahun 2008 dihasilkan feronikel sekitar 10.000 ton nikel dan sekitar tiga juta wmt (wet metric ton) bijih nikel. Bijih nikel dipasarkan ke Je-pang dan Australia. Sedangkan feronikel dalam bentuk batangan logam atau ingot dijual ke negara Jerman, Inggris, Belgia, dan Jepang. Harga jualnya ber-dasarkan pada harga logam internasional yang mengacu pada London Metals Exchange (LME). Feronikel hasil penambangan perusahaan yang ber-kantor pusat di Jakarta ini, tahun lalu dihargai 3,73 dollar Amerika Serikat (AS) per pon. Sedangkan untuk bijih nikel tergantung pada tinggi rendah kadarnya.

Layaknya produk tambang yang memiliki nilai jual tinggi seperti minyak bumi dan emas, negara lalu mengklaim nikel sebagai miliknya. Tidak mengherankan bila hasil penjualan ke-kayaan daerah berlambang burung raksasa ini lebih menggembungkan pundi-pundi uang pemerintah pusat dibandingkan kas daerahnya sendiri. Usaha pertambangan dan penggalian berada di peringkat keempat dari sembilan lapangan usaha yang ada. Kontribusinya pada tahun 2000 sekitar Rp 163 milyar atau 8,66 persen dari seluruh kegiatan ekonomi senilai Rp 1,9 trilyun.

Meskipun begitu, harus diakui, kehadiran badan usaha berusia 33 tahun ini menimbulkan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Dari kegiatan perusahaan ini di Pomalaa, setiap bulan kas daerah menerima pajak pemanfaatan air bawah tanah dan per-mukaan rata-rata Rp 30 juta. Jumlah kas juga bertambah dari perolehan pajak penerangan jalan sebesar Rp 100 juta per bulan.

Meskipun memiliki bijih nikel berkualitas ekspor, bahan tambang ini tidak lantas menjadi usaha terbesar Kolaka. Pertanian merupakan lapangan usaha terbesar masyarakat kabupaten di bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara ini. Sektor ini mampu menyerap 76.734 orang tenaga kerja. Total kegiatan ekonomi yang dihasilkan tahun 2000 besarnya Rp 765,2 milyar. Dari jumlah itu, separuhnya diperoleh dari kegiatan usaha di bidang perkebunan. Lahan perkebunan kabupaten yang terdiri dari pegunungan dan bukit yang memanjang dari utara ke selatan, terbanyak di-gunakan untuk areal tanaman kakao. Sayangnya harga jual kakao atau kokoa-sebutan lain untuk tanaman cokelat-tidak stabil. Setelah sempat mencapai harga Rp 28.000 per kilogram pada tahun 1998, harga kakao jatuh. Harga per kilogram tahun 1999 turun enam ribu rupiah. Setahun kemudian menjadi dua belas ribu rupiah per kilogram dan tahun 2001 hanya Rp 8.000. Penurunan ini ditengarai karena berkurangnya permintaan akan komoditas kakao, atau dikarenakan ulah para pedagang yang kebanyakan datang dari Makassar dan Surabaya untuk memperbanyak keuntungan. Mereka membeli langsung hasil kebun itu dari para petani.

Sejak tahun 2018 silam, Sulawesi Tenggara sudah kebanjiran investor nikel. Namun, semuanya terkesan pengusaha kelas teri. Pasalnya, areal konsesi yang diminta kecil-kecil, dari 200 sampai 500 hektar. Bayangkan konsesi PT Inco (Kanada) di provinsi ini 63.000 hektar, PT Aneka Tambang Tbk (BUMN) 8.200 hektar, belum termasuk Pulau Bahubulu 17.000 hektar yang masih tahap eksplorasi.Namun, para pejabat setempat (baca: bupati dan kepala dinas pertambangan) menyambut para investor ini dengan segenap keramahtamahan. Mereka dianggap orang penting yang harus dijunjung tinggi. Maklum, para investor tampak sangat dermawan, bagai Santa Klaus di mata para pejabat tersebut. Negosiasi untuk mendapatkan konsesi lahan nikel atau kuasa pertambangan (KP) dikondisikan agar dilakukan di Jakarta. Di kota inilah, seperti dituturkan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Ir Muhammad Hakku Wahab dalam perjalanan bersama Gubernur Nur Alam dan Kompas di Kabaena (Kamis, 20 Maret 2008), melihat gejala para investor atau kacungnya menghambur umpan, mulai dari mobil mewah untuk dipakai selama ”dinas” di Jakarta, hotel mewah, wanita cantik, dan tentu saja uang. Dalam suasana pertemanan ekstra akrab itu, KP nikel akhirnya lebih mudah diperoleh ketimbang membalikkan tangan. Tak heran jika lokasi KP di Sultra saat ini begitu menjamur di hampir semua 10 kabupaten dan dua kota.

Kabupaten Konawe Utara lebih mencolok. Di kabupaten baru itu terdapat lebih dari 100 KP. ”Lebih luas izin KP yang diterbitkan dari keseluruhan luas kabupaten itu sendiri,” kata Kepala Subdinas Pertambangan Umum Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Burhanuddin. Penerbitan KP/ IUP yang tak terkendali merupakan buah dari otonomi yang diberlakukan di kabupaten/kota. Dengan kewenangan yang luas, para kepala daerah bisa menjual potensi apa saja yang dimiliki daerahnya kendati dengan harga murah. Yang penting kegiatan itu menguntungkan pribadi, kelompok, dan bisa meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Gejala penyalahgunaan kewenangan sehingga lokasi KP nikel begitu menjamur dan tumpang tindih menarik perhatian Gubernur Nur Alam. ”Kami sedang kaji kemungkinan penertiban KP. Kalau perlu kami cabut izin-izin yang tak layak,” katanya. Nur Alam yang menjabat Gubernur Sultra 18 Februari 2008 menyatakan sangat mendukung kegiatan investasi pertambangan nikel di daerahnya. Syaratnya ialah investor harus membangun pabrik pengolahan, bukan sekadar menggali lalu mengekspor tanah yang mengandung nikel. Pembangunan industri akan lebih banyak menyerap tenaga kerja dan menciptakan pusat pertumbuhan baru di pedesaan penghasil nikel. Nur Alam juga menghendaki agar pihak investor melakukan reinvestasi di Sultra dari keuntungan yang diraup. Bila pembangunan industri dan reinvestasi tidak dilakukan investor, Sultra bakal mengalami malapetaka besar. ”Setelah investor pergi meninggalkan lahan rusak, tinggallah rakyat yang sengsara karena lahannya tak layak lagi ditanami,” katanya.
Apa yang dikhawatirkan Gubernur Alam mulai muncul dan terasa di Kabaena, pulau berpenduduk 23.639 jiwa di Kabupaten Bombana. Tidak tanggung-tanggung, pulau seluas 867,69 kilometer persegi itu telah dikapling menjadi 16 blok KP nikel. Dua di antara pemilik KP itu, PT Billy Indonesia dan PT Argomorini, telah beroperasi mengeruk tanah pulau beralam pegunungan itu, lalu diangkut ke China. Warga setempat pun dibayang-bayangi penderitaan batin maupun fisik. 

Warga Desa Dongkala di lokasi KP PT Billy, misalnya, kesulitan air minum selama tiga bulan pertama perusahaan itu beroperasi menggerus tanah nikel. Soalnya, lokasi penambangan terletak di kawasan hulu sumber air desa itu. ”Kami juga hanya menjadi penonton kegiatan menyendok lahan di desa kami,” tutur Habaruddin (42) di depan Gubernur Alam yang bertatap muka dengan warga sekitar penambangan nikel di Dongkala, Kabaena Timur, 20 Maret lalu. 

Warga pesisir lebih terpukul sejak muncul kegiatan penambangan nikel bulan Desember 2007. Lokasi budidaya rumput laut dan kepiting milik mereka tertutup lumpur nikel. Arifuddin (35), anggota kelompok pengelola budidaya rumput laut, tak mampu berkata-kata saat ditanya perihal usaha budidaya yang menjadi tumpuan harapan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Ia hanya memandang air laut berlumpur coklat kemerahan dengan tatapan kosong. Usaha pertambangan di mana pun selalu menyisakan masalah sosial dan lingkungan setelah kontrak berakhir dan investor pergi. 

Untuk menanggulangi kerusakan lingkungan, misalnya, sesuai keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 3 November 2000, investor diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi pada bank pemerintah. Bila investor pergi dan tidak melakukan rehabilitasi terhadap lahan rusak bekas galian, pemerintah menggunakan dana itu bagi pelaksanaan rehabilitasi. Apakah ketentuan itu dipatuhi, Manajer Produksi PT Billy Slamet Mudjiono enggan berkomentar. Ia mengaku telah membangun cekdam untuk menahan erosi lumpur nikel.

Dalam Seminar Nasional & Workshop dengan tema benarkah tambang mensejahterakan digelar di Swissbel Hotel (24/6/11), kepada para peserta seminar Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, menjelaskan, hadirnya perusahaan pertambangan yang mengelola kekayaan alam Sultra belum memberikan kesejahteraan buat rakyat Sultra itu semua akibat tidak terkelolanya pertambangan didaerah ini. Perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara terindikasi belum sepenuhnya membangun infrastruktur seperti transportasi, irigasi, dan pembuangan limbah untuk kepentingan proses operasi produksinya. Karena itu menurut Gubernur sangat penting pengelolaan pertambangan yang tertatakelola dengan baik. "Beberapa waktu lalu saya pernah Inspeksi mendadak di lokasi tambang dan apa yang terjadi di sana kerusakan lingkungan yang sangat parah tanpa ada revitalisasi lingkungan bahkan ada jembatan titian yang dioperasikan 9 perusahan tambang tanpa izin dari Menteri perhubungan. Kondisi seperti itu tentu sangat merugikan masyarakat, pemerintah dan negara," ungkap Nur Alam.

Ia memaparkan, bahwa, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan di Sultra selain mengoptimalisasikan pengelolaan potensi tambang di Sultra agar bermanfaat bagi masyarakat luas juga untuk mendorong agar pelaku Pertambangan di Sulawesi Tenggara dapat sinergis dengan pembangunan berkelanjutan dengan menerapkan pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan good pratice mining antara lain kegiatan pertambangan yang mentaati aturan yang berlaku, terencana dengan baik. Menerapkan teknologi yang sesuai berlandaskan pada evektivitas dan efisiensi, melaksanakan konservasi bahan galian serta mengendalikan dan memelihara fungsi lingkungan. 

"Jika hasil-hasil tambang dioptimalkan maka akan membawa manfaat dengan target dan sasaran bisa dicapai seperti penurunan angka kemiskinan yang bisa mencapai 2,5 persen, penyerapan tenaga kerja bisa mencapai 1,5 juta penduduk, PDRB perkapita bisa mencapai Rp 57,9 juta dan perbaikan sarana infrastruktur jalan bisa mencapai 20 ribu kilometer serta sasaran pembangunan lainnya," tukas Gubernur saat menjadi pemateri seminar yang diselengarakan oleh Asosiasi Mikoriza Indonesia (AMI) cabang Sultra kerjasama Ikatan Alumni Universitas Haluoleo (Ika- Unhalu). 

Seminar di hadiri oleh Staf Ahli Menteri Kehutanan Ir Soetrisno,MM. Seameo Biotrop Fahutan IPB Dr. Ir Irdika Mansur M.For.Sc Tatang Sabaruddin Direktur Pembinaan dan Program Minerba energi sumber daya mineral (ESDM) lingkungan hidup serta peserta seminar dari LSM lingkungan, BEM serta praktisi lingkungan dari berbagai perguruan tinggi di Sulawesi Tenggara. 

Kembali ke soal tambang, potensi sumber daya alam pertambangan di Sulawesi Tenggara memiliki nilai produksi yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 303 ribu triliun.  Nur Alam saat masih menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara pada acara pembukaan tripartit antara pemerintah, perbankan dan pelaku usaha di Kota Bau-Bau, 31 Januari 2011 silam, mengatakan, kekayaan alam strategis di bidang pertambangan di daerah itu antara lain nikel dengan deposit sekitar 97,4 miliar ton dengan nilai produksi sekitar Rp 23 ribu triliun. Selain itu, terdapat tambang aspal di Pulau Buton yang memiliki deposit sekitar 3,8 mliar ton dengan nilai produksi sekitar Rp 1,841 triliun.

Daerah Sulawesi Tenggara  juga memiliki kandungan emas yang diperkirakan depositnya sekitar 1,125 juta ton dengan nilai produksi Rp 277 ribu triliun. Pemerintah yakin rakyat Sulawesi Tenggara akan sejahtera jika kekayaan alam ini dapat dikelola dengan baik, demikian Nur Alam yang didampingi Staf Ahli Gubernur Sultra Bidang Investasi Prof. Dr. La Ode Masihu Kamaluddin.

Ada semangat optimisme dari pemerintah bahwa di masa mendatang, daerah itu akan lebih maju dari daerah lain, bahkan akan dikenal di dunia karena berbagai potensi sumber daya alam yang dimiliki. Dapat  dibayangkan bahwa potensi tambang saja dengan perkiraan nilai produksi sekitar Rp 303 ribu triliun, apalagi dengan hasil pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan, kekayaan daerah itu kalau dikelola dengan baik, akan membawa kesejahteraan di masa depan.

Salah satu upaya nyata yang telah dilakukan adalah dengan melakukan survey geologi dan pemetaan pada kawasan kawasan potensial yang dilakukan melalui kerjasama antara pemerintah daerah dengan Lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan Geologi ITB Bandung. Sehingga saat ini Pemerintah khususnya di Kabupaten Kolaka telah memiliki data dan informasi yang akurat tentang potensi sumber daya alam guna menarik investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut.

Perusahaan yang telah melakukan eksploitasi nikel di daerah ini adalah diantaranya  PT. Antam Tbk. Dengan luas areal 8.314 Ha, terletak sekitar 30 km sebelah selatan ibukota Kabupaten Kolaka. Deposit nikel tersebut ditemukan pertama kali pada tahun 1909 dan di exploitasi pada tahun 1934, sedangkan hasil produksinya nanti diperoleh pada tahun 1939. Hingga saat ini telah dibangun 3 buah pabrik. Dua buah pabrik ferronikel yang telah dibangun beroperasi sejak 1975 dengan kapasitas 11.000 ton nikel/tahun sementara pabrik Feni III dibangun tahun 1995 dengan kapasitas 24.000 ton feronikel telah mulai berproduksi pada tahun 2005, Hasil produksi nikel tersebut telah diekspor ke berbagai sektor seperti Jepang, Belgia dan Jerman dengan total ekspor mencapai 41,5 juta dollar Amerika. Sementara Ferronikel mencapai 82,6 juta dollar Amerika. PT.Inco yang memiliki luas wilayah Kontrak Karya : di Pomalaa 20.286,19 Ha dan 3.000 Ha diantaranya dilakukan kerjasama dengan PT. Antam Tbk. yang beroperasi tahun 2005, sedangkan luas Kontrak Karya di Lapao-pao 6.785,75 Ha sehingga total luas Kontrak Karya PT. Inco Tbk. di Kabupaten Kolaka adalah 27.071,91 Ha.

Pemerintah mengajak investor menanamkan modalnya untuk mengolah potensi sumber daya alam tersebut sesuai prinsip kelestarian lingkungan dan memberdayakan masyarakat daerah setempat. Pemerintahmendukung kehadiran investor untuk mengolah potensi sumber daya terus berupaya membenahi pembangunan infrastruktur perekonomian di daerah ini.

Pemerintah pun berharap, ke depan kondisi pengelolaan nikel seperti sekarang ini perlu ditata dan dikelola agar dapat memberikan nilai tambah terhadap devisa negara dan pendapatan daerah. Pembagian pendapatan antar pusat dan daerah, antar provinsi dan kabupaten penghasil serta kabupaten lainnya dalam provinsi telah diatur dalam peraturan perundangan. demikian juga prosedur perizinan terhadap potensi tambang dalam kawasan hutan juga telah diatur. Jadi tidak ada perebutan kekuasaan dan kewenangan antar pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota. ini yang perlu dihayati oleh kita semua sebagai penyelenggara pemerintah.

Usaha-usaha melalui pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan seluruh aspek sosial, ekonomi dan ekologis serta pertimbangan geo-ekonomi dan geo-strategis telah diatur dalam undang-undang nomor 39 tahun 2009 tentang kawasan ekonomi khusus atau KEK. UU tersebut juga memberikan batasan yang waktu jelas yaitu 3 tahun serta dukungan fasilitas berupa infrastruktur untuk mengembangkan klaster pusat-pusat perekonomian di seluruh indonesia. keberadaan undang-undang kawasan ekonomi khusus lebih diperkuat dengan munculnya kebijakan master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi yang berisikan tiga strategi utama yaitu : pengembangan koridor ekonomi Indonesia dan perkuatan konektivitas nasional serta mempercepat kemampuan sumber daya manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Inilah yang perlu dipahami sehingga sulawesi tenggara dapat ikut berperan dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat di daerah ini. Jangan sampai terjadi kita hidup diatas kekayaan alam, tetapi tidak dapat menikmatinya. ibarat pepatah “ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan”. Karena itu perlu inovasi, kretivitas dan terobosan dalam menterjemahkan berbagai kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam yang tersedia. Perlu menyatukan pikiran dan langkah untuk berbuat yang terbaik bagi daerah ini. karena dengan kekayaan alam yang tersedia kita dapat melakukan akselerasi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah ini. Secara akumulatif berarti  juga memberikan berkontribusi terhadap kesejahtraan bangsa dan negara, termasuk kepada masyarakat dunia.

Bumi adalah satu-satunya supporting system kehidupan di dunia yang perlu kita lindungi bersama-sama untuk keberlanjutan kehidupan anak cucu kita. karena itu apapun yang kita lakukan isu-isu lingkungan akan tetap menjadi pertimbangan utama dan pertama. Butuh keberlanjutan produksi, keberlanjutan kehidupan dan keberlanjutan generasi yang terus meningkat kualitas hidupnya. Karena itu perlu di jaga kelestarian lingkungan terhadap apapun yang direncanakan. tidak perlu terus mempertentangkan masalah lingkungan dengan perkembangan sosial budaya dan ekonomi tanpa solusi atau jalan keluarnya. Karena alam khususnya lahan memiliki fungsi sosial, ekonomi dan ekologis. ^^



Comments

Popular Posts