Pokosalamai, Naa'ii



Saya pikir Ini pasti surprise ala Hugua. Kehadiran Pak Hugua memang tak disangka-sangka mengingat kesibukan beliau yang super duper padatnya serta lokasi kegiatan yang terbilang jauh dari jangkauan ibu kota. Tapi ternyata beliau menepati janji. Itu yang selalu Saya suka dengan beliau. Kehadiran mantan Bupati Wakatobi 2 periode tersebut tak lepas karena posisinya sebagai Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan tokoh/pembina Pariwisata Sulawesi Tenggara yang difasilitasi sahabat saya kang Yusuf Maulana (GM Plaza Inn Hotel ketika itu).
 Hugua bahkan tampil dan memberikan pidato terkait kegiatan kepariwisataan di Sulawesi Tenggara serta memuji kegiatan Festival Benua yang dihelat cukup meriah tersebut. Seperti biasa beliau mengapresiasi kegiatan ini dan menyebut ivent tersebut bagian dari upaya mendorong pelestarian budaya. "Melalui ivent-ivent seperti, Kita tidak hanya akan menyelamatkan pranata budaya dari ancaman degradasi, tetapi juga turut merawat investasi pariwisata di Sulawesi Tenggara,".
Hugua tentu tidak sedang mendongeng. Saya mengenal beliau sejak lama dan percaya akan kemampuan beliau. Ia memaparkan data dan fakta bahwa negeri Konawe Selatan benar-benar kaya potensi wisata. Itu disampaikannya hadapan banyak orang saat Festival Benua 2017 dihelat. Meski pidatonya terbilang singkat, tapi benar-benar sarat makna. Hugua adalah bekas bupati dua periode di Kabupaten Wakatobi, melalui sentuhan kebijakannya selama sepuluh tahun, Ia berhasil membawa Wakatobi sejajar dengan daerah-daerah terbaik di Indonesia bahkan dunia untuk urusan kepariwisataan. Prestasi terakhir yang ditinggakan beliau, Wakatobi masuk top ten (10) wisata Iandonesia.
Bagi Hugua, daratan Sulawesi Tenggara merupakan surga bagi pariwisata, khususnya yang berada di sepanjang kawasan Rawa Aopa yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Rawa aopa selain sebagai surga burung air, juga merupakan kawasan strategis dunia sebagai situs ramsar terbesar di dunia, Kekayaan hayati semakin lengkap dengan keberadaan masyarakat adat yang bermukim disepanjang perbatasan taman nasional Rawa Aopa. Sehingga patut untuk terus dijaga dan dilestarikan sebagai masa depan pariwisata Sulawesi Tenggara.
Di lapangan Benua hari itu, Ia sedang mengingatkan semua orang di Konawe Selatan, bahwa, optimisme membangun kepariwisataan secara serius adalah sesuatu yang wajib, jika perlu pemimpin wilayahnya harus berani menjadikan kepariwisataan sebagai visi dan misi membangun daerah. “Ini adalah sebuah ‘harta karun’ yang jika dikelola serius dan berkesinambungan akan mensejahterakan rakyat konawe selatan,”tutupnya.
=============================
Kita agak mundur kebelakang. Dua pekan sebelum perhelatan Saya bertemu Rasul Simpatik. Ketika itu beliau masih menjabat sebagai camat benua, 2017 silam. Kami berdiskusi menyoal problematika budaya lokal yang dinilainya kian rapuh. Problemnya, stok para pelakon budaya semakin menipis, sebagian besar sudah menua sebagian lagi sudah meninggal dunia. Anak-anak muda tak ada yang mau secara suka rela belajar, apalagi meneruskan tradisi ini. Inilah yang membuat resah dan gelisah Rasul Simpatik. Baginya harus ada langkah kongkrit, terstruktur dan massif menyelamatkan aset bangsa ini. Ia yakin jika diseriusi semua pemangku kepentingan, maka tradisi ini akan selamat. Saat itu saya cukup gembira dan tak menyangka ada pamong muda yang begitu perhatian pada pranata budaya daerahnya.
Rasul tidak sekedar berempati sesaat, tetapi tengah memantik semangat warga khususnya anak-anak muda benua untuk peduli pada budaya leluhur serta mengembalkan citra benua sebagai daerah berbasis adat dan kebudayaan. Toh bukan perkara sulit, bagi Rasul mengundang banyak orang, sebab Ia pemimpin wilayah di benua yang merupakan tanah kelahirannya, sekaligus tanah dimana tradisi lulo ngganda tumbuh dan berkembang sejak lama sebagai sebuah tradisi budaya tolaki.
Mula-mula diskusi terbatas beberapa orang, lalu melebar menjadi diskusi beberapa puluh orang dan akhirnya mengundang seluruh tokoh dan tetua adat se kecamatan benua. Jadilah ide "Pokosalamai, naa'ii" menjadi tagline yang digaungkan sang camat. Tagline yang berarti selamatkan dan simpan ini mengandung arti yang dalam bagi kelangsungan hidup kebudayaan lokal di negeri Konawe Selatan. Dari tagline tadi kami bersepakat memulai projects bersama berbasis budaya, caranya dengan membuat Ivent budaya dan seni. Ide yang bisa dibilang dadakan ini akhirnya terwujud juga dengan menggelar Benua Festival, sebuah kegiatan pementasan seni budaya dan karnaval.
Dikondisi seperti ini memang dibutuhkan langkah-langkah strategis berkelanjutan, terutama mulai memikirkan adanya lahan untuk membangun satu kawasan khusus adat dan budaya, di lokasi ini nantinya dipusatkan berbagai kegiatan budaya, entah itu berbentuk ivent maupun sebagai sanggar /sekolah budaya lokal. Untuk anggaran, bahkan seharunya dana desa bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat yang sadar budaya, jika perlu menggaji para pemangku adat di benua untuk bisa menurunkan ilmu mereka kepada generasi.
Mungkin Itu strategi lokalnya, selanjutnya membangun ruang komunikasi yang lebih luas ke pemerintah kabupaten melalui dinas pendidikan dan kebudayaan agar membantu mendorong pengetahuan dan pengembangan budaya di sekolah-sekolah. Bila perlu ada intervensi dalam kurikulum walau hanya bersifat ekstrakurikuler agar pengetahuan budaya dan tradisi tertanam ke pribadi para murid, jika perlu diperlombakan di setiap ivent daerah atau negara seperti peringatan 17 agustus, dll. Hanya ini cara yang bisa dilakukan agar tradisi budaya ini bisa selamat, tapi semua terpulang dari kemauan para pihak.

Comments

Popular Posts