Mengenal Orang Tolaki




Orang tolaki menyerupai orang Vietnam. Ada juga yang menyamakan seperti orang Jepang. Cara mereka berbicara meledak-ledak, ini menurut Almarhum Prof. DR Rauf Tarimana dikarenakan banyak leluhur mereka dulu tinggal di pinggir-pinggir sungai yang arusnya deras dan di sekitar hutan-hutan rimba belantara tempat mereka membuat ladang secara berpindah-pindah. Oleh karena itu dahulu orang tolaki dikenal sebagai petani-petani ladang yang tangguh yang sanggup menggundul hutan yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa dengan hanya menggunakan peralatan sederhana seperti parang panjang (opade) dan sebilah kapak (opali). Mereka baru mengenal budaya bersawah pada sekitar tahun 1930-an ketika orang-orang bugis datang menetap di Daerah Mowewe, Kolaka Timur.

Muslimin Su’ud, budayawan Tolaki dalam bukunya Adat Tolaki menyebutkan, Orang tolaki khususnya kaum laki-laki dahulu dikenal sebagai pemburu-pemburu binatang liar seperti; kerbau, rusa dan anoa. Mereka sanggup selama berhari-hari menjelajahi hutan rimba, lembah dan gunung bermil-mil jauhnya hanya dengan peralatan seperti tombak dan anjing pemburu. Praktik ini pula yang hingga kini mereka lakukan sebagai pencari madu hutan maupun pencari rotan di hutan rimba.
 Penulis berkebangsaan Belanda Vosmaer mengungkap budaya Tolaki ada kesamaan dengan budaya orang Dayak “koppensnellen” yakni budaya mengayau atau memenggal kepala orang yang dianggap musuh sebagai alat ritual. Tapi di masa sekarang budaya ini sudah lama ditinggalkan. Bagi yang ingin mendalami karakter dasar orang tolaki, maka sebaiknya jelajahi kampong-kampng orang tolaki di pedalaman yang jauh terpencil. Di sana sekarang ini masih dapat ditemukan orang tolaki yang setiap berjalan kemana-mana termasuk hanya bertandang ke rumah tetangga mereka selalu membawa parang panjang yang disandang di bahu yang menjadi kebiasan mereka sehari-hari. Tak perlu takut karena umumnya orang tolaki sopan-sopan, asalkan Anda menyapa mereka duluan. Kalau Anda sempat menginap di rumah orang Tolaki, walau semalam pasti disuguhkan nasi yang lembut serta ayam, walau si empunya rumah terpaksa harus meminjam ke tetangga. Kebiasaan ini dilakukan secara turun temurun, karena merupakan aib bagi orang tolaki kalau ada tamu yang bermalam di rumahnya tidak dilayani sebaik mungkin, serta member oleh-oleh kepada si tamu bila kembali dengan oleh-oleh seperti seekor ayam kampong atau pun beras ladang.

Lelaki orang tolaki dahulu pakaiannya sangat sederhana, celananya sempit-sempit dan hanya sampai di lutut. Baju mereka umumnya suka model rompi atau potongan baju tanpa lengan dan menyukai warna hitam-hitam. Kalau keluar rumah selalu memakai tutup kepala dengan semacam kopiah dari daun agel, anggrek rawa atau anggrek bulan. Sedang perempuan tolaki kesukaan mereka dahulu memakai kebaya denganj sarung dililit di pinggang. Warna kulitnya putih langsat dan jarang berkulit gelap. Orang-orang luar banyak mengakui bahwa gadis-gadis tolaki cantik-cantik dan pemalu. Perempuan tolaki kalu sudah bersuami terkenal sebagai isteri-isteri yang patuh dan hormat kepada suaminya. Kalau suaminya sedang tidur pantang baginya maupun anak-anaknya menginjak lantai keras-keras. Kalau waktu makan tiba selalu suami yang didahulukan dan kalau dalam sajian ada lauk pauk seperti ayam, maka kepala, buntut, dan daging dada harus untuk suami, selebihnya baru untuk anak-anak.

 Laki-laki orang tolaki kalau duduk pada umumnya suka duduk bersila dengan anggapan bahwa, duduk seperti itu adalah duduknya kaum terhormat dan duduk tau adat. Kalau mereka berbicara dengan siapapun apalagi dengan bangsawan mereka selalu didahului dengan ucapan Inggomiu yang artinya tuan yang saya muliakan. Terlebih lagi kalau dalam suatu acara pertemuan adat Membesara dengan kalosara. Apabila ada acara semacam ini maka mereka selalu bersikap diam karena sangat hormat dan takut kualat kepada kalosara dengan anggapan bahwa kalosara itu adalah symbol supremasi hukumn adat mereka yang apabila tidak dihormati dan dipatuhi nakan bukan saja masyarakat luas akan menghinakan mereka tetapi juga termasuk keluarga mereka sendiri. Kalosara sendiri adalah sebuah lingkaran rotan kecil bulat yang dipilin tiga yang kedua ujungnya dipertemukan dalam simpul ikatan tertentu.

Di zaman kekuasaan pemerintah kolonial belanda memang sudah cukup banyak catatan-catatan etnografis tentang orang tolaki yang dipublikasikan oleh para etnolog dan misionaris belanda. Sebagai contok dua buku yang ditulis H Van Der Klift seorang pendeta militer belanda yang pernah tinggal di wilayah mowewe-sanggona hulu-lanbuya-amesiu-kendari-wolasi dan terakhir di toubonto, yang masing-masing berjudul; De Ontwekeling van het Zendingwerk op zuid Oost Celebes (1918); 20 Huidege Stand Het Zendingop zuild Oost Celebes (1925). Juga tulisan dari DR Alb. C. Kruyt yang meneliti di daerah Kolaka dengan buku berjudul Een en Anderover de Tolaki van Mekongga (1920); juga buku catatan perjalanan dari Vosmaer tentang teluk kendari (1902) berjudul Reisen in Celebes, Vonk (1920). (Berbagai sumber)

Comments

Popular Posts