Berkunjung di Kaledupa Selatan

Jejak kemasyuran terekam jelas, salah satunya adalah keberadaan  situs benteng  yang masih berdiri kokoh di Desa Pajam, Kaledupa Selatan.  Keberadaannya menjadi penanda jejak sejarah di sana. Benteng ini merupakan benteng pertahanan kesultanan Buton dari serangan musuh di masa lampau. Dari atas benteng kita dapat menyaksikan hamparan ribuan pohon kelapa yang subur. Juga menyaksikan keindahan pulau hoga dari kejauhan.

Desa Palea adalah desa kecil yang terletak di bukit Kaledupa Selatan. Desa berpenduduk sekitar 110 KK ini dulunya adalah desa induk dari dua desa yang belakangan mekar, masing-masing,  Desa Pajam dan Desa Peropa. Ketiga desa kini hidup berdampingan dengan damai. Rumah-rumah warga di sini tertata rapi. Semuanya berbentuk panggung dan bahan bangunnya kebanyakan terbuat dari kayu.

Tak seperti di desa-desa lain di pulau Wakatobi, Desa Palea dianugerahi tanah yang subur berwarna kehitaman, sehingga warga bisa menanam aneka tanaman. Kesuburan tanahnya itu pula DesaTampara lebih dikenal orang sebagai kampong bertanah subur.  Tak heran, sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai petani.

Dari tanah yang subur itu , warga menanam tanaman jangka pedek seperti  singkong, jagung  dan pisang sebagai tanaman alternatif. Hasil dari kebun inilah yang menghidupi masyarakat. Jika kaum laki-laki bekerja menanam, maka di musim panen dari pukul dua malam giliran para ibu-ibu desa memasak hasil panen kebun. Dari bahan singkong, jagung dan pisang  mereka  membuat aneka makanan, diantaranya  makanan khas wakatobi,  Kasuami.

Kasuami adalah makanan tradisional pengganti nasi. Berbahan baku singkong yang proses pembuatannya memakan waktu dan tenaga. Kasuami dijual ke sejumlah wilayah pulau kaledupa. “Kami membuat kasuami dengan berkelompok, jumlahnya bervariasi, ada yang 10 orang dan ada juga 20 orang. Kasuami kami juga ke desa dan juga ke orang laut di kampung laut sana,”kata Sariani, ketua kelompok usaha kasuami mina, Desa Palea.

Warga Desa sangat bersyukur  karena akses jalan ke desa mereka kini sudah mulus beraspal, yang terhubung ke seluruh wilayah kecamatan. Warga juga  dapat menikmati air bersih yang diperoleh dari sumber mata air di ujung desa, air mengalir melalui pipa yang dibangun secara swadaya. “Kami membayar air hanya dengan  Rp 3000 saja setiap bulannya,”kata Pak La Ute.

Namun bukan pelosok namanya jika tidak ada masalah, terutama urusan penerangan listrik. Listrik hanya menyala saat menjelang malam dan padam di waktu pagi buta. Meski begitu pembayaran listrik melambung jauh.  Setiap bulannya warga harus menanggung biaya pemakaian listrik sampai ratusan ribu rupiah. Padahal rata-rata warga hanya menggunakan dua mata lampu (18 watt) dan sebuah televisi. Warga berkali-kali menyoalnya, tapi tak pernah ada tanggapan.

Seperti halnya di daerah-daerah lain, urusan politik warga di pelosok khususnya di kaledupa selatan cukup aktif. Khususnya saat musim pemilukada tiba, warga berbondong-bondong mendatangi TPS untuk memilih. Umumnya pemilih perempuan  di desa tidak terlalu peduli dengan urusan politik. Perempuan desa lebih memikirkan urusan dapur mereka, yang umumnya bekerja sebagai petani, pedagang  dan ibu rumah tangga.

Comments

Popular Posts