Jejak Tionghoa di Tanah Buton
Apa
hubungan Naga dengan tanah Buton? Pertanyaan ini kerap terdengar dari
orang-orang yang berkunjung di Kota Baubau saat pertama kali melihat patung
naga di Pantai Kamali. Legenda naga memang tak lepas dari pulau Buton yang konon
memiliki kaitan dengan negeri China. Raja Buton pertama Wakaaka (seorang putri)
yang dikenal sebagai Mobeteno I Tombula adalah orang Tionghoa. Sedang di Tiworo
pemerintahan diawali dengan Mobeteno I Paria (Bambu Pering). Namun tidak ada
penjelasan lanjutan tentang garis keturunan secara runut / silsilah keluarga tionghoa
sang Raja Wakaaka.
Buku Aneka Budaya Sulawesi Tenggara yang terbit 1971 menulis, menurut
tradisi, Wakaaka datang di Buton saat masih kecil dan dibesarkan serta diangkat
raja oleh empat Bonto dari Patalimbona (empar negeri: Peropa, Gundu-gundu,
Barengkatopa dan Baluwu). Wakaaka kemudian kawin dengan Sibatara yang kabarnya
berasal dari Majapahit dan beranakaan seorang putri yang bernama Bulawambona.
Bulawambona
ini kemudian kawin dengan La Baluwu anak Sangeriarana Bontona Baluwu 1. Dari
perkawinan ini lahirlah Bataraguru yang kemudian diangkat sebagai Raja Buton III. Dari istri lain La Baluwu (Bontona Baluwu II) memperoleh sembilan anak
yang semuanya ditetapkan sebagai Bonto dari sembilan negeri yang seterusnya
dikenal sebagai Sio Limbona yaitu: Baluwu, Peropa, Gundu-gundu, Barangkatopa,
Gama, Siompu, Wandoiloo, Rakiyah, Melai. Sejak itulah Silo Limbona merupakan
dewan kerajaan (sebelumnya adalah Patalimbona) yang bertugas mengangkat raja
Buton dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Bataraguru
juga mengangkat seorang pembantu dalam melaksanakan pemerintahan dengan gelar
sapati. Sapati yang pertama adalah L aManjawari yang menurut tradisi berasal
dari Kabaena. Raja Bataraguru kawin dengan Waeloncugi anak Dungkung Cangi, dari perkawinan ini lahirlah 3 anak
yaitu: Raja Manguntu, Tua Maruju dan Tua
Rade. Anak dari isteri lain adalah Ki Ajula yang kawin dengan anak raja tiworo
dan melahirkan Watubapala yang menjadi permaisuri Sugimanuru (Raja Muna).
Pada
masa pemerintahannya, Bataraguru mengunjungi Majapahit (asal kakeknya Sibatara
) bersama-sama dengan anak-anaknya. Dari Majapahit dia membawa sebuah meriam
kecil yang kemudian dikenal dengan oda-odana wolio. Bataraguru digantikan oleh
anaknya yang bungsu Tua Raden sebagai Raja Buton IV.
Tua
Raden dikenal dengan gelaran Sangia I Sarana Jawa. Sarana Jawa merupakan bawaan
Tua Raden dari jawa waktu dia berangkat ke sana dan mendapati kerajaan
majapahit telah runtuh. Sarana jawa tersebut adalah, Payung Kain, permadani,
Gambi I Soda, Somba (kebisaan menyembah kepada raja). Pada masa tua raden
ditetapkan pula pakaian jubah (hitam) dan destar sebagai pakaian resmi
kerajaan. Sebagian riwayat menyatakan bahwa, Tua Rade kemudian berangkat ke
Ternate menginggalkan Buton. Tua Raden digantikan oleh anak angkatnya
(kemenakan) yang bergelar Raja Mulae (sangia Gola) sebagai Raja Buton V.
Kala memerintah, sang Raja Wakaaka menjadikan naga symbol kerajaan kala itu.
Patung Naga di kota Baubau
disebut-sebut dibuat sebagai ikon berkaitan dengan Naga Lawero yang sejak dulu
hidup dalam cerita rakyat di sekitar wilayah Kesultanan Buton.
Dilihat dari anatomi pembuatan
patung Naga bersisik hijau keemasan tersebut dengan jari cakarnya berjumlah 5
(lima) dipastikan sebagai model Naga asal Negara Cina.
Awalnya, patung Naga di kota Baubau
tersebut dibangun tahun 2007 oleh Pemerintah Kota Baubau dalam bentuk patung
Kepala Naga yang tegak setinggi sekitar 5 (lima) meter di Taman Pantai Kamali
saat kerjasama Indonesia dengan Cina belum sepadat saat ini. Pantai Kamali
Sebuah pantai terbuka yang kini menjadi lokasi rekreasi kebanggaan warga kota
Baubau dan sekitarnya, berjarak hanya sekitar 300-an meter dari Demaga
Pelabuhan Nusantara Murhum, kota Baubau.
Kepala Naga menghadap laut Selat
Buton. Sedangkan patung Ekor Naga baru kemudian dibuat pada tahun 2010 setinggi
7 (tujuh) meter terpisah di Bukit Palagimata, di depan kantor Walikota Baubau.
Dalam suasana cerah dari lokasi
tempat dibangunnya patung Ekor Naga tersebut, dapat disaksikan panorama indah
kota Baubau bagian bawah yang tumbuh berkembang sepanjang wilayah tepian pantai
di mulut Selat Buton. Juga dari lokasi patung Ekor Naga dapat menyaksikan Pulau
Kabaena yang seolah mengapung di laut lepas, serta melihat sebagian dari
landasan Bandara Betoambari, kota Baubau yang juga berlokasi di pesisir Pantai.
Antara patung Kepala Naga di Pantai
Kamali dengan patung Ekor Naga di Bukit Palagimata terpisah berjarak sekitar 5
kilometer. Tak heran jika ikon Patung Naga di kota Baubau tersebut sering
dipelesetkan para pendatang sebagai Naga Terpanjang di dunia.
Naga,
telah ada selama ribuan tahun. Dongeng tentangnya dikenal di banyak budaya. Ia
muncul dalam mitologi di Amerika, Eropa, India, dan Tiongkok. Punggungnya
terdiri dari barisan perisai yang rapat. Saking rapatnya, udara bahkan tak bisa
melewatinya. Dengusannya mengeluarkan kilatan cahaya. Ia bagai sinar
fajar. Lubang hidungnya mengeluarkan asap, seperti panci mendidih di atas
alang-alang yang terbakar. Mulutnya menyemburkan api. Batu bara pun bisa
menyala akibat dengusan napasnya.
Makhluk
yang dijelaskan dalam Book of Job (Kitab Ayub) itu
mirip sekali dengan seekor Naga. Namun di sana disebut dengan Leviathan,
semacam monster raksasa yang mengerikan.
Karenanya,
ide dan deskripsi Naga sangat bervariasi. Beberapa Naga digambarkan memiliki
sayap, tapi yang lain tidak. Ada Naga yang dikisahkan bisa berbicara dan
menyemburkan api, yang lain tidak bisa. Di antaranya hanya beberapa kaki
panjangnya, tapi yang lainnya bisa berkururan menjangkau mil. Beberapa Naga
hidup di istana atau di bawah lautan, sementara yang lain hanya dapat ditemukan
di gua dan di dalam pegunungan. Makhluk itu juga bisa diidentikkan sebagai
makhluk pembawa kebaikan, maupun kejahatan.
Tak
jelas kapan kisah Naga pertama kali muncul. Laman Livescience menulis, paling tidak Naga yang paling
tua bisa dirunut sampai awal masa Yunani dan Sumeria Kuno. Kata Dragon dalam
bahasa Inggris asalnya dari bahasa Yunani Kuno, draconta artinya “untuk
mengawasi”. Maksudnya, binatang buas itu biasanya menjaga harta karun, gunungan
koin, atau emas. Ini seperti yang digambarkan dalam trilogi film fantasi The
Hobbit. Smaug, Naga terakhir di Middle-earth dikisahkan
mengambil alih Lonely Mountain (Gunung Sunyi) yang berisikan harta karun
Erebor. Naga diwujudkan sebagai makhluk yang menyeramkan, terutama waktu
Kristen menyebar ke seluruh dunia. Pada abad pertengahan, kebanyakan orang
mendengar kisah Naga dari Alkitab.
Fakta di Balik Legenda Naga
Namun, kepercayaan pada Naga tak
hanya berdasarkan legenda. Banyak juga orang dulu yang meyakini berdasarkan
bukti kuat. Contohnya, selama ribuan tahun tak ada yang bisa menjelaskan
tentang tulang-tulang raksasa yang ditemukan di seluruh dunia.
Dilansir dari laman Livescience,
beberapa abad lalu desas-desus tentang Naga terkonfirmasi keberadaannya oleh
saksi mata. Para pelaut yang kembali dari Indonesia melaporkan telah bertemu
dengan mereka. Makhluk yang katanya sejenis kadal itu dapat menjadi agresif dan
mematikan. Panjangnya sampai 10 kaki. Namun ternyata itu adalah komodo.
Pada
masa lalu, Naga kerap dipakai untuk menyebut hewan tak dikenal. Pada abad ke-16
misalnya, Fei Xin, seorang personel militer yang ikut berlayar bersama
Cheng Ho sempat mengunjungi bagian utara Sumatra. Dalam buku Catatan
Umum Perjalanan di Lautan (Xingcha Shenglan), dia
menceritakan adanya sebuah pulau yang sering didatangi Naga. Pulau itu
menjulang di Laut Lambri. Jaraknya satu hari satu malam jika berlayar ke arah
barat dari Pulau Sumatra. Naga-Naga yang ke sana meninggalkan liur yang tinggi
nilainya di pasaran.
Selain patung naga, symbol nanas
juga terlihat di beberapa sudut kota Baubau. Ukurannya tak hanya kecil, tapi
banyak juga yang besar. Rupanya, nanas dan naga merupakan simbol di tanah
Buton. Mantan Bupati Buton. Samsu Umar Samiun punya pendapat soal ini. "Nanas
itu lambang kearifan lokal," ujar Samsu Umar Abdul Samiun.
Umar menjelaskan bahwa nanas yang buahnya manis itu bagaikan keinginan pemerintah untuk membawa warganya ke kehidupan yang manis atau sejahtera. Namun untuk menuju keberhasilan, terkadang banyak rintangan yang kemudian di lambangkan dengan duri di buah nanas. "Nanas itu isinya manis, itu keinginan pemerintah membawa masyarakatnya ke sana. Tapi untuk menuju ke sana berliku penuh duri, ya seperti nanas itu. Jadi pelaksanaannya memang harus hati-hati dan melibatkan komponen banyak, itu filosofinya," kata Umar.
Selain itu, buah nanas juga menggambarkan bahwa orang Buton itu kuat hidup dimana saja ketika merantau. Mereka juga mudah beradaptasi dengan adat istiadat di daerah luar yang ditinggali.
"Filosofi Nanas seperti itu. Makanya orang Buton banyak sekali melakukan ekspansi di luar, mencari kehidupan di luar. Sekaligus juga orang Buton itu bisa menyesuaikan diri dengan tradisi adat serta lingkungan dimana saja dia pergi," tuturnya. Naga dan Nanas adalah dua symbol yang dimiliki kesultanan Buton seperti halnya symbol yang juga dimilik kerajaan-kerajaan china di masala lampau.
Umar menjelaskan bahwa nanas yang buahnya manis itu bagaikan keinginan pemerintah untuk membawa warganya ke kehidupan yang manis atau sejahtera. Namun untuk menuju keberhasilan, terkadang banyak rintangan yang kemudian di lambangkan dengan duri di buah nanas. "Nanas itu isinya manis, itu keinginan pemerintah membawa masyarakatnya ke sana. Tapi untuk menuju ke sana berliku penuh duri, ya seperti nanas itu. Jadi pelaksanaannya memang harus hati-hati dan melibatkan komponen banyak, itu filosofinya," kata Umar.
Selain itu, buah nanas juga menggambarkan bahwa orang Buton itu kuat hidup dimana saja ketika merantau. Mereka juga mudah beradaptasi dengan adat istiadat di daerah luar yang ditinggali.
"Filosofi Nanas seperti itu. Makanya orang Buton banyak sekali melakukan ekspansi di luar, mencari kehidupan di luar. Sekaligus juga orang Buton itu bisa menyesuaikan diri dengan tradisi adat serta lingkungan dimana saja dia pergi," tuturnya. Naga dan Nanas adalah dua symbol yang dimiliki kesultanan Buton seperti halnya symbol yang juga dimilik kerajaan-kerajaan china di masala lampau.
Comments
Post a Comment