Mencium Aroma Pelosok
MASJID Al Amin
berdiri tepat di pinggir jalan desa yang penuh lubang. Kondisi bangunannya memprihatinkan. Bagian-bagian bangunan yang seluruhnya
terbuat dari bahan ramuan kayu itu sudah mengalami pelapukan. Bahkan, tiang
utama penyangga gedung sudah nyaris roboh. Karena kondisinya yang
memprihatinkan itu, warga urung beribadah di masjid itu.
Kondisi yang
sama terjadi pada bangunan balai desa yang terletak beberapa meter dari masjid
Al Amin. Setengah dinding bangunan yang terbuat dari kayu nampak kotor dan kusam, akibat sudah lama tak
digunakan pemerintah setempat.
Kita dapat
merasakan aroma kemiskinan yang akut dan
kian terasa saat masuk jauh ke polosok pesisir Kecamatan Wawonii Tengah ini.
Tercermin dari kehidupan sehari-hari warga, rumah-rumah penduduk terbangun seadanya. Hanya
ada sedikit rumah berbahan semen, sisanya lebih banyak rumah berbahan ramuan
kayu.
Mengacu definisi
penduduk miskin,
maka desa Puuwulu dapat didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya
kurang dari kebutuhan yang diperlukan untuk hidup secara layak di wilayah
tempat tinggalnya. Pun dengan kecukupan pengeluaran konsumsi makanan warga yang
rata-rata sebesar Rp 20.000 per hari. Hasil penelitian menujukkan sumber
pendapatan ekonomi masyakarat sangat tidak menentu. Pendapatan perkapita
penduduk di bawah angka rata-rata kehidupan layak masyarakat pada umumnya.
Pasalnya, warga
yang mayoritas nelayan tidak benar-benar menjelma menjadi nelayan yang
sesungguhnya. Seperti diungkapkan Hamid (43 tahun), warga Desa Puuwulu, bahwa,
mereka mencari ikan hanya untuk sekedar bertahan hidup. “Ikan yang kami cari hanya
untuk dikonsumsi pribadi,”ujarnya.
Ada banyak
kendala memayungi kehidupan warga nelayan Puuwulu, salah satunya minimnya peralatan tangkap yang dimiliki. Di
desa hanya ada 2 orang warga nelayan yang memiliki alat tangkap, itu pun hanya
berupa sampan dan beberapa meter jaring kecil.
Kondisi ini tentu berdampak pada kebutuhan hidup warga yang serba
kekurangan. Warga terkadang harus membarter tangkapan mereka demi mendapatkan
sekilo beras.
Kondisi ini pula
yang membuat warga tak lagi melanjutkan pendidikan anak-anak mereka. Sebagian
besar anak desa banyak yang putus sekolah dan hanya tamat sekolah dasar. Warga
juga tak tersentuh sarana kesehatan yang membuat banyak warga mengandalkan
dukun untuk berobat.
Tak hanya itu,
kondisi infrastruktur seperti jalan dan jembatan semua dalam kondisi rusak. Ini
tampak dari sebuah jembatan sepanjang 15 meter hanya memiliki lebar 1,5 meter sehingga
hanya dapat dilalui kendaraan roda dua. Lantai jembatan yang terbuat dari kayu
sudah mengalami pelapukan dan saat banjir maupun air laut pasang, jembatan ini
tidak dapat dilalui warga terutama anak sekolah.
Jembatan ini memang
memiliki arti penting bagi warga, karena merupakan jalur penghubungan antar
desa, diantaranya ke desa Morobea, Batumea dan Desa Wahara yang merupakan jalur
terdekat untuk mendistribusikan bahan pangan dan ekonomi warga, menuju ibu kota langara.
Desa Puuwulu
adalah desa transmigrasi yang seluruh warganya eksodus berasal dari Ambon
(Maluku). Mereka mengungsi setelah pecahnya perang berdimensi agama di wilayah
negeri ambon manise tersebut. Sebagai masyarakat nelayan, selain tanah dan
rumah, warga juga diberikan bantuan makanan dan sarana alat tangkap ikan,
seperti perahu, jarring dan mesin tempel.
Sayang tak semua
warga pengungsi bertahan hidup di desa ini, sebagian besar dari mereka memilih kembali ke Ambon seiring situasi yang sudah kondusif. Bagi mereka yang memilih
bertahan jumlah tidak terlalu banyak diperkirakan tersisa 50 KK, mereka hidup
dengan kondisi ekonomi yang terbatas, kurangnya pengetahuan warga tentang
kegiatan nelayan. Begitu pula, masyarakat tidak punya keahlian di bidang
pertanian padahal faktanya tanah di puuwulu
cukup baik untuk budidaya perkebunan.
Sebenarnya, desa
yang terletak di pinggir pantai ini memiliki potensi sumber daya alam yang tak
kalah dari daerah lain di Wawonii, yakni, mengandung tambang pasir kwarsa yang
belum dijamah hingga kini. Luas areal diperkirakan mencapai puluhan
hektar. Di atas hamparan pasir kwarsa,
tumbuh potensi lain berupa tumbuhan bernama kolosua. Bunga kolosua tumbuh dalam
koloni besar dalam hamparan lahan luas mirip padang ilalang dengan bentuk
batang tumbuh tegak lurus.
Sejak lama, tumbuhan
bunga kolosua oleh warga dimanfaatkan untuk membuat kerajinan handycraf berupa tikar alas. Jauh sebelum puuwulu
mekar, warga di sepanjang pesisir, seperti Batumea hingga ke kawasan Lampeapi menjadikan kolosua
sebagai bahan membuat tikar. Warga membuat kerajinan tikar di saat musim panen
belum tiba dan biasanya warga bekerja berkelompok Hasil kerajinan ada yang digunakan sendiri serta
ada pula yang dijual kepada warga di desa-desa lainnya. ***
Comments
Post a Comment