Cerita Perempuan dan Pilkada di Baubau
Di
Kota Baubau terdapat kawasan bernama Tanah Abang. Nama kawasan yang lazim terdengar,
di ibukota negara kita, Jakarta sebagai kawasan pusat pasar grosir terbesar. Entah
bagaimana ceritanya, kata Tanah Abang juga dijadikan nama salah satu kawasan di
wilayah kesultanan Buton ini. Konon diberinama karena karakter social
masyarakatnya mirip di Tanah Abang Jakarta sana. Keras.
Kota
Baubau sebenarnya kawasan yang elok. Kotanya bersih dan tertata rapi. Bangunan-bangunan
yang berdiri belum banyak dimodernisasi. Bertahan dengan tradisi rumah adat
Buton yang eksotik. Namun keelokan tanah Butuni, berbanding terbalik dengan kawasan Tanah Abang. Kita akan disuguhi
pemandangan berbeda, dimana banyak rumah kumuh berdiri di sana. Umumnya bangunan
rumah warga berbahan kayu, berlantai semen dan sebagian bangunan lainnya berlantai
bambu.
Jarak antara rumah sangat rapat. Memberi kesan
kumuh. Meski begitu, beberapa anak tetap dapat bermain bola di gang sempit. Dan
sebagian anak perempuan menyempatkan belajar di teras rumah mereka. Saya
sengaja memilih lokasi tanah abang setelah mengetahui sebagaian respon program
partisipasi perempuan di pemilukada Sultra adalah perempuan dari keluarga
miskin. Di lokasi ini saya memilih empat responden perempuan dengan lokasi tempat
tinggal mereka yang saling berdekatan.
***
Matahari
baru bergulir ke barat, saat saya tiba di rumah ibu Salma (53 tahun). Salma adalah
salah satu responden yang disurvey pada Program Mendorong Partisipasi Aktif Perempuan
Dalam Pemilukada Sultra. Sehari-hari Salma adalah penjual sayur keliling di
wilayah Tanah Abang Dua, Kelurahan Wangkanapi,
Kecamatan Betoambari, Kota Baubau. Sejak pagi buta, Ia bersama beberapa tetangganya berkeliling kota dengan berjalan kaki sambil menjinjing
keranjang berisi aneka sayuran, sejauh lima kilo meter. Ia harus bersusah payah
menjanjakan dagangan sayur dari rumah ke rumah. “Leher saya sampai sakit,
karena beban jualan yang berat,”katanya.
Meski hanya pedagang sayur keliling, namun siapa
sangka Salma telah mampu menyekolahkan tiga anaknya hingga ke sekolah menengah
atas. “Alhamdulillah mereka semua bersekolah dan beruntung bisa masuk sekolah
negeri bertaraf internasional,”ujar Salma, bangga.
Di
usianya yang senja, Ia tak lagi bisa mengandalkan Burhan, suaminya, yang kini
telah mulai sakit-sakitan. Padahal dulu Burhan adalah tulang punggung keluarga
meski hanya bekerja sebagai pekerja serabutan, jadi buruh bangunan dan juga buruh pelabuhan.
Salma
tidak begitu mau melibatkan diri dengan banyak urusan, apalagi urusan politik.
Ia hanya berpikir bagaimana keluarganya bisa makan dan anaknya bisa sekolah.
Karenan itu Salma tak begitu mengerti tentang program partisipasi aktif perempuan dalam pemilukada Sultra
yang dijalankan Solidaritas Perempuan Kendari.
Salma
mengaku tau ada program perempuan,berawal dari pertemuannya dengan Siti Maryam,
surveyor SP Kendari wilayah Baubau. “Kebetulan Ibu Maryam adalah pelanggan tetap saya. Saya sering
mengantar pesanan sayur ke rumahnya. Nah saat bertemu itulah, ibu Maryam meminta
saya untuk ikut pendataan program perempuan,”katanya. Tak lama berselang,
Maryam kemudian mendatangi rumah Salma untuk mendata sekaligus membagi
informasi seputar pemilukada.
Sebagai
pemegang hak suara, di pemilukada Sultra, November 2012 silam, Salma tentu memiliki calon gubernur dambaannya. Dengan
terang Salma mengaku memilih pasangan Buhari Matta- Amirul Tamim. Alasan
pilihan dijatuhkan karena melihat sosok Amirul
yang pernah memimpin Kota Baubau, dimana sosok tersebut dianggap
berhasil.
Dalam
pandangan Salma, para pemimpin yang ada selama ini belum berpihak pada nasib
masyarakat miskin. Banyak program yang ditelurkan hanya kamuflase. Pendidikan
gratis misalnya, Ia dan keluarganya belum dapat menikmati program yang banyak
digaungkan pemerintah itu. “Buktinya, saya masih harus membayar beban biaya pendidikan
anak kami di sekolahnya,”kata Salma. Demikian
pula program kesehatan yang konon digratiskan, dirinya tetap harus dibebani
membayar biaya perawatan, bahkan saat suaminya sakit, Ia harus membayar biaya
perawatan sampai Sembilan juta rupiah untuk menebus biaya obat.
***
Masih
di kawasan Tanah Abang. Saya bertemu dengan responden lain. Beliau adalah Siti Rosmini (46 tahun). Gaya bicaranya
terkesan ceplos. Ia tak segan membagi cerita pengalamannya di musim Pemilukada
Sultra November 2012 silam. “Terus terang saat pemilukada (Pilgub,Red) kemarin,
Saya sudah mau pilih Ridwan Bae, tapi karena saya tidak diberi uang, jadi
pilihan saya alihkan suara ke Nur
Alam,”kata Siti Rosmini.
Kekecewaan Rosmini ini dipicu dari pertemuan
dengan tim sukses beberapa hari sebelum pemilihan. Saat itu, Rosmini bersama
sepuluh rekannya diundang tim sukses
pasangan ARBae. Mereka dibawa ke sebuah tempat yang cukup luas, mirip sebuah
balai pertemuan. Di sana perempuan parobaya ini mendengar paparan program serta
arahan dari pasangan calon ARBae selama lebih dari tiga jam. Usai pertemuan
sejumlah tim sukses kemudian membagi-bagikan uang pada peserta. Lokasi yang
jauh dari rumah membuat Siti Rosmini dan kawan-kawan berharap ikut mendapat bagian
ongkos trasportasi. Sayang, tak satu pun tim sukses yang menjambangi mereka.
“Dengan
mata kepala saya melihat tim sukses membagi-bagikan uang, tapi anehnya saya dan sepuluh teman
tidak diberi jatah. Sangat tidak adil. Terus terang saya sangat kecewa ketika
itu,”ungkapnya. Amarah yang membuncah membuat seorang rekan Rosmini nekat berteriak di hadapan
tim sukses. “Rekan saya berteriak-teriak tidak akan memilih pasangan ARBae. Mereka
pantas mendengarnya,”ujarnya. Saat ‘hari H’ pemiihan Siti Rosmini dan
kawan-kawan benar-benar merealiasikan janji untuk tidak memilih pasangan ARBae.
Sikap
pragmatis memang kerap menghinggapu hampir sebagian besar pemilih terutama kaum
perempuan disetiap kali perhelatan pilkada berlangsung. Rasionalitas berpikir pun
terkadang ditanggalkan. Lihatlah saat Rosmini diwawancara seputar wacana
perempuan pilih perempuan. Apa pendapat ibu jika seandainya perempuan maju
menjadi calon kepala daerah? Apakah calon perempuan itu akan Anda pilih? Siti
Rosmini sempat terdiam dan kemudian
menjawab. “Saya harus liat dulu siapa calonnya, biar juga calonnya perempuan,
tapi kalau tidak memberi perhatian pada nasib masyarakat terutama orang miskin,
maka lebih baik memilih pemimpin yang sudah ada (laki-laki, Red),”ujarnya
polos.
Rumah
Siti Rosmini bersebelahan dengan rumah Salma di komplek tanah abang 2 kelurahan
Wangkanapi, Kota Baubau. Bangunan rumahnya sudah permanen. Meski begitu Ia
masih tetap pada profesi lamanya sebagaai penjual sayur keliling. Hari-hari
Siti Rosmini memang dilakoni dengan keras. Sejak subuh hari Ia sudah harus ke
pasar memborong sayur dari pedagang. “Sayur yang dibeli di pasar itu, saya bawa
pulang untuk dikemas dalam plastik untuk
jual kembali keliling kota,”katanya.
Pekerjaan ini sudah dijalaninya selama lebih dari lima belas tahun. Dari
hasil dagang keliling Ia bisa menyekolahkan anak dan sisanya disispkan untuk
membangun rumahnya. Rumah itu dibangun dari jerih payah dirinya dan suaminya
yang seorang buruh bangunan.
Meski
hidup senderhana, Namun siti mengaku pasrah dengan keadaan, sebab, dari era ke
era, kendati di Sultra terus berganti pemimpin, tidak juga mengubah nasib
keluarganya, terutama dirinya sebagai pedagang sayur keliling.
***
DI
HARI yang sama, saya menyambangi kediaman
ibu Rita. Rumahnya tidaklah
terlalu besar, sederhana, terbuat dari kayu beralas lantai semen. Sebagian
dinding rumahnya bahkan sudah lapuk dan dimakan rayap. Sebuah jemuran sarat pakaian
dibiarkan terurai liar tepat di depan pintu masuk sehingga menghalangi
pandangan para tamu.
Dari dalam rumah seorang wanita mengucap salam
sambil mempersilahkan masuk. Usianya baru sekitar 34 tahun, kehidupan yang keras
telah merebut kulit muda di wajahnya. Saat bertemu Rita, ibu dua anak ini menyambut
kami dengan ramah. Setelah mendapat penjelasan singkat perihal kedatangan kami,
Rita yang pendiam langsung bercerita panjang lebar.
Soal
pilihan Rita memang cukup tegas. Perempuan muda ini tak mau ambil pusing dengan
sejumlah calon yang mengincar suaranya. “Ada beberapa tim sukses calon gubernur
lain datang untuk menggalang suara, tapi saya tetap pada pilih
NUSA,”katanya. NUSA adalah akronim dari
pasangan Nur Alam-Saleh Lasata. Keduanya adalah calon dari Partai Amanat
Nasional (PAN) yang juga pasangan incumbent.
“Terus
terang saat pemilukada, Saya pilih Nur Alam. Itu pilihan hati nurani saya,”terang
Rita, saat wawancarai tim monev SP Kendari.
Rita
tentu punya alasan dengan pilihannya itu. Terdorong dengan realita program yang
dijalankan pemerintahan Nur Alam di periode pertama. Rita mengaku menerima
manfaat langsung dari program yang digulirkan pasangan NUSA, dimana Ia menjadi
salah satu peserta jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dari Program
kesehatan gratis di Program Bahteramas. “Rasanya berdosa juga kalau tidak
memilih Nur Alam, biar bagaimana Dia sudah membatu saya dengan dengan program
kesehatan gratisnya,”ujar Rita.
Terkait
dengan program partisipasi perempuan dalam pemilukada Sultra, Rita sudah mencoba memberikan
penilaian pada calon yang hendak dipilihnya, yakni yang peduli rakyat dan
memberi dampak langsung pada kehidupan keluarganya. HANYA saja beberapa
pendapat mengelitik terurai dari pikiran
Rita tentang kiprah perempuan menjadi pemimpin.
***
PEMILIHAN
Gubernur Sultra dan Pemilihan Walikota Baubau berlangsung bersamaan. Sehingga
membuat sebagain besar warga khsusunya pemilih perempuan kebingungan. Bahkan
sebagian dari mereka tidak lagi mengetahui siapa calon gubernur pilihan mereka,
lantaran terkosentrasi pada pemilihan walikota. “Saya sudah lupa siapa yang
saya pilih gubernur di pemilukada lalu,”kata Narlia.
Bahkan,
perempuan tiga anak itu juga tidak hafal lagi, siapa saja nama calon-calon
gubernur Sultra di pemilukada November 2012
lalu. “Siapa ya, saya benar-benar lupa,”katanya. Narlia sendiri Nampak tidak
begitu bersemangat saat diajak wawancara soal politik.
Perempuan
yang belum memiliki pekerjaan ini tak ambil pusing dengan pesta demokrasi level
gubernur. “Terus terang Saya orang baru di wilayah ini, jadi saya tidak
mengenal siapa saja calon-calon gubernur itu,”ujarnya beralaasan. Begitu pula
program partisipasi aktif perempuan dalam pemilukada sultra solidaritas
perempuan kendari. “Saya pernah bertemu dengan Maryam dan kepada saya Ia menyampaikan agar perempuan memilih calon
yang memihak nasib perempuan. Saya bilang terserahh saja, mau pilih yang mana
sesuai hati nurani saja,”ujarnya.
Diakuinya,
jika saat ini, Ia hanya terkosentrasi memikirkan masa depan anak-anaknya yang
masih kecil-kecil dengan bagaimana secepatnya mendapatkan pekerjaan yang layak untuk
membantu keuangan keluarganya. Narlia sendiri adalah isteri kedua dari suaminya
yang seorang PNS di Kota Baubau.
***
DARI
kawasan tanah abang, saya mendatangi kawasan Pecek Kelurahan Wangkanapi, yang
jaraknya hanya beberapa ratus meter. Di kawasan ini saya mengambil tiga sampel
untuk kegiatan monitoring dan evaluasi. Saya bertemu dengan ibu Ida (28
tahun). Tubuhnya yang subur membuatnya
sedikit repot saat duduk. Ia bersandar penuh di dinding papan rumahnya demi
menopang tubuhnya. Namun siapa sangka, saat bercerita Ia begitu semangat
terlebih seputar isu politik. Bahkan perempuan yang baru saja menikah ini
dengan lahap menjawab setiap pertanyaan
yang disodorkan tim monev SP Kendari.
Ida menceritakan ihwal keterlibatnnya di
program partisipasi aktif perempuan
dalam pemilukada Sultra yang diadakan LSM Solidaritas Perempuan Kendari.
Ia
mengaku beberapa kali terlibat diskusi dengan Maryam, surveyor SP wilayah
Baubau. Ia mengaku sangat mendukung kegiatan yang diselenggarakan SP dimana Ia
begitu banyak menyerap informasi seputar perjuangan hak-hak perempuan di
pemilukada.
Ia
sangat menyayangkan tidak adanya perempuan yang maju dalam pemilukada sultra.
“Kalau ada perempuan yang maju saya
pasti pilih,”katanya semangat. Baginya memilih perempuan adalah mutlak,
mengingat pemimpin perempuan sangat peka terhadap nasib rakyat miskin khususnya
ibu-ibu. “Sebagai sesama kaum hawa, pemimpin perempuan pasti mengerti kebutuhan perempuan,”ujarnya sambil
tersenyum.
Ida
sendiri mengaku di pemilukada November
2012 lalu. Ia menjatuhkan pilihan pada pasangan NUSA (Nur Alam), sebab, program
yang ditelurkan pasangan incumbent tersebut juga menyentuh dirinya sebagai
warga masyarakat. “Program bahteramas melalui program kesehatan gratis melalui
kartu Jamkesmas telah saya rasakan makanya saya pilih dia (Nur Alam).
Ida
mengaku sangat respek dengan pemilukada dengan harapan pemilukada akan
memberikan perubahan yang lebih pada dirinya dan keluarganya. “Saya berharap
ada perubahan taraf hidup masyarakat miskin, terutama saya dan keluarga, saya ingin pemerintah
memberikan perhatian dengan memberi bantuan seperti mesin jahit, usaha masak
untuk ibu agar ada pekerjaan dan bantuan kredit usaha kecil, agar masyarakat
kecil juga bisa meraih kesejahteraan mereka,”katanya.
***
JARUM
jam sudah menunjukkan pukul 17.17 wita, saat tim monev program partisipasi
perempuan pada pemilukada berkunjung ke
rumah milik Sarsina (53 tahun). Rumahnya sederhana. Kuseng rumah kelihatan sudah usang, akibat termakan
usia. Tak ada daun jendela yang menempel, kuseng hanya dibalut kayu yang dipaku
sekenenanya. Dari kamar tamu, nampak sejumlah poster berisi huruf abjad dan huruf
hijayyah menempel beraturan.
Oleh pemiliknya, jelas bila ruang tamu ini, kerap
disulap menjadi ruang taman baca alquran bagi anak-anak sekitarnya. Masih di dinding
kamar tamu, deretan foto tertata kurang rapi, dipasang nyaris menyentuh plafon
rumah. Foto-foto itu adalah milik anak-anak Sarsina di masa kecil. Sarsina
sengaja memajang seluruh foto sebagai bukti kecintaannya pada anak-anaknya itu.
“Pemilik
foto kini sudah pada besar dan duduk di bangku SMA dan SMP,”kata Sarsina membuka
sedikit tabir keluarganya. Sarsina sendiri memiliki empat anak hasil
perkawinanya dengan H Basri.
Sarsina
sendiri sudah menunggu kedatangan kami
sejak siang. Ia mendengar kabar dari tetangganya yang juga responden
program.
Sosok
perempuan berjilbab ini memang sedikit berbeda dengan kebanyakam kaum ibu di komplek
tempat tinggalnya. Ia begitu menaruh perhatian pada nasib perempuan di kancah
perpolitikan local selama ini. Baginya saatnya perempuan menunjukkan taringnya
di dunia perpolitikan. “Selama ini hak-hak politik kaum perempuan selalu
dikebiri, tak heran jika kaum perempuan termarjinalkan di semua sector,”katanya.
Meski
begitu Sarsina mengaku tak punya pilihan lain di pemilukada Sultra 2012 lalu.
Ia juga tak mau suaranya hilang begitu saja. Sebagai warga negara yang baik, Ia
tetapn memberikan hak pilihnya kepada salah satu calon yakni pasangan NUSA.
Ia
memilih NUSA setelah adanya lontaran janji yang disampaikan tim NUSA yang konon
akan memperbaiki jalan di wilayah tempat tinggalnya. “Pasangan NUSA Menjanjikan
akan memperbaiki jalan di kampung ini dan semoga janji itu
direalisasikan,”katanya.
Selain
itu, pilihan pada NUSA dijatuhkan setelah merasakan adanya program Bahteramas
berupa program kartu sehat Jamkesmas. “Ini salah satu yang membuat saya harus
memberikan pilihan,”katanya.
Sarsina
berharap agar pemimpin Sultra pilihannya bisa mencontoh kiprah Jokowi, Gubernur
DKI Jakarta yang dicintai rakyat karena kerja keras dan kerap melakukan
blusukan ke perkampungan rakyat miskin.
***
Enti
Mardia hanya bisa memberikan pilihan pada NUSA di pemilukada 2012. Ia menaruh
simpati pada pasangan incumbent karena
terobosan pembangunan yang telah dilakukan pada daerah. Enti mengaku sangat
respek dengan pemilukada dengan harapan pemilukada akan memberikan perubahan
yang lebih pada dirinya dan keluarganya. Bagi Enti mengaku pemilukada adalah
harapan yang akan memberikan perubahan pada masyarakat. Enti sendiri tidak terlampau
terlibat aktif dalam program politik perempuan, hanya saja soal kesadaran
politik nampaknya tidak diragukan lagi pada perempuan satu ini. Ia bersama
keloga dan keluarganya yang lain sangat yakin jika perubahan perilaku perempuan
dalam politik, pelan tapi pasti akan berubah.
Ia bukanlah kelas pekerja seperti umumnya banyak perempuan di tanah Buton. Ia
hanya seorang ibu rumah tangga yang mengasuh dua anaknya. Ia bertumpu pada keratifitas suaminya sebagai pengojek
dan juga pekerja buruh bangunan.
***
Muda
enerjik dan gesit, meski sedikit kalem. Pembawaannya yang ramah menjadi senjata
ampuh menaklukan 200 orang perempuan yang kemudian menjadi respondennya di Program
Partisipasi Aktif Perempuan Dalam Pemilukada Sultra yang digelar Solidaritas Perempuan
Kendari. Dialah Siti Maryam, salah surveyor SP di wilayah Kota Baubau, Sulawesi
Tenggara.
Sebagai
surveyor Maryam sapaan akrab perempuan kelahiran Baubau, 25 September 1989 ini
memilih tiga wilayah dampingan, masing-masing Kelurahan Tomba, Kelurahan
Wangkanapi dan Kelurahan Kanakea.Ia sengaja memilih tiga kelurahan ini karena
sebagain besar warganya dari keluarga miskin. Tugas survey dikerjakan Maryam
beberapa sebelum pemilukada Sultra dihelat.
Sebagai
perempuan muda Maryam terbilang berani menjalankan tugas survey. “Ada beberapa alasan
yang membuat Saya tertarik menjadi surveyor, pertama melihat fakta, dalam
urusan politik perempuan masih sangat terbelakangan sehingga berpengaruh pada tingkat layanan
public. Kedua belum berpihaknya system pada nasib yang dialami perempuan dan
ketiga mencari pengalaman baru dalam dunia survey. Dan ini pengalaman baru bagi
saya,”ungkapnya.
Tugas
Siti Maryam tidaklah mudah. Ia diberi waktu 2 minggu untuk menjalankan program survey pemilukada
ini. Karena itu banyak sekali tantangan yang menghinggapi perjalanan dirinya
sebagai surveyor. Terutamaa menampik kecurigaan banyak responden yang memandang
sebelah mata apa yang dikerjakannya.
Warga
mudah curiga, banyak yang menolak, tapi tidak sedikit yang mengira survey ini
ada uangnya. Begitulah sebagian besar
prasangka negative dari warga. Namun begitu Siti Maryam tidak mengambil hati
apalagi kecewa. “Saya mendapat banyak pengalaman berharga dari proses survey
ini,”kata Maryam.
Pekerjaan
utama dari Maryam adalah mendata sekaligus memberikan penguatan dan pandangan
terkait hak-hak politik perempuan di pemilukada. Dari pengalaman yang
diperolehnya sebagian perempuan di wilayah dampingannya masih melek soal
politik. “Sebagain besar justeru tidak peduli dengan pemilu. Mereka lebih
mementingkan pekerjaan mereka sebagai kelas pekerja, baik itu pedagang maupun ibu rumah tangga,”kata Maryam.
Saat
menjadi surveyor, Maryam baru saja menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum
Universitas Haluoleo, Kendari. Ia bercita-cita seorang pengacara dan tengah mencoba
peruntungan di dunia perbankan.
Comments
Post a Comment