Kisah di Balik Pencarian Goa Terbesar di Sulawesi
Empat pendaki kini terjebak di dasar tebing Mekongga, gunung tertinggi di jazirah tenggara Sulawesi. Sudah berhari-hari mereka menunggu kedatangan tim yang melakukan evakuasi. Linto Mustafa Ibrahim (26 tahun), ketua tim Ekpedisi Penelusuran Goa, Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala), Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), yang menjadi saksi hidup kisah para petualang sejati itu, menceritakan kembali kisah pilu perjalanan mereka dalam pencarian gua terbesar di sulawesi itu.================
Jutaan butir air jatuh ke bumi saat tujuh pendaki menapak Gunung Mekongga yang agung. Mereka meraba jalan dengan langkah dengan hati-hati. Padu padan cuaca buruk dan medan ekstrim membuat pergerakan tim ekspedisi pencarian goa terbesar di Sulawesi ini kian melambat. “Kawan-kawan harap berhati-hati, di bawah kita tebing curam. Saat turun tolong berpegang di batu, rumput atau pepohonan,”instruksi Linto Mustafa pada rekan-rekannya. Sepatu dan baju mereka basah kuyup. Beban carier (tas punggung) yang melekat di tubuh seolah menambah beban perjalanan mereka hari itu.
Linto Mustafa Ibrahim adalah ketua
tim ekpedisi pencarian goa Mekongga hari itu. Pemuda yang kini dipercaya
memimpin Mapala Universitas Sulawesi Tenggara ini begitu sadar akan bahaya yang
tengah mereka hadapi. Tak jarang Ia harus membantu rekannya yang kelelahan,
mengangkat tas jinjing dan menyemangati mereka. Ia sudah lima tahun bergelut di
dunia pencinta alam dan keluar masuk hutan. Diliriknya jam tangannya. Jarum jam
menunjuk angka 1 siang itu. Linto optimis dapat menjangkau sungai kecil di
balik dinding tebing di bawahnya, untuk membuat basecamp sebelum hari mulai
gelap.
Meski hujan mengguyur deras, lima
pendaki terus bergerak dan sukses mencapai teras tebing di kedalaman 25 meter.
Sementara dua pendaki lainnya masih berada dibelakang dan tersisa sepuluh meter
saat mencapai dasar. Linto menunggu cemas dua rekannya itu dengan tubuh basah
kuyup. Hari itu mereka hendak menuju pulang setelah sehari sebelumnya, Rabu
(28/12/12) Linto bersama tim ekspedisi berhasil menemukan goa yang dicari.
Bahkan mereka berhasil mendekati bibir goa sekaligus mendokumentasikan fisik
gua serta dan memasang bendera Mapala Unsultra, sebagai symbol penemuan.
“Jalur yang sangat susah dan hutan
lebat yang rapat memaksa kami harus memanjat punggungan 2 gunung. Setelah
berada di atas punggungan ternyata dibawah kami ada tebing yang begitu
tinggi,”kata Linto.
“Sebelum turun saya berinisiatif
melakukan survey jalurnya, apa layak atau tidak untuk dituruni. Saya
berpendapat jalur tersebut masih bisa dijangkau melihat masih ada pohon dan
akar-akar besar yang menempel didinding tebing,”tambahnya.
Cuaca pegunungan Mekongga memang
dikenal ganas, hutan hujan tropis kadang membentuk pola cuaca berubah-ubah,
terkadang hujan dan kabut muncul secara tiba-tiba. Belum lagi kanopi hutan yang
lebat menutupi tanah disekitarnya, membuat suhu bertambah begitu dingin.
Biasanya kondisi seperti inilah yang sangat ditakuti para pendaki, karena suhu
dingin bisa membuat serang sesak napas yang akut.
Hudianto (23 tahun) salah satu tim
ekspedisi yang peka terhadap suhu dingin. Kondisi suhu siang itu membuatnya
sesak napas, hingga membuat gerakannya melambat. Di sisa tenaganya Ia mencoba
menuruni tebing curam. Baru mencapai sepuluh meter, tiba-tiba kuda-kuda
Hudianto yang diakrab dipanggil Odi ini goyah. Pemuda bertubuh besar melakukan
kesalahan fatal dengan berpijak di tanah licin. Rupanya, hujan deras telah
membuat tanah dan batu yang dipenuhi lumut menjadi kian licin. Akar pohon yang
dipakai berpegang menahan beban dirinya tercerabut.
Hudianto panik bukan kepalang. Ia
pasrah. Tubuh yang besar terjun bebas terhempas sejauh 10 meter dan mendarat
persis di atas bebatuan tebing yang tajam. Sekejap Ia berusaha bangkit, namun
kembali ambruk. Sebuah batu lancip menembus paha kanannya. Lima rekannya dibawa
panik luar biasa. “Saat kami temukan, tubuh Hudianto tak lagi bergerak,”kata
Linto. Sementara itu darah perlahan mengucur dari paha Hudianto dan bagian
tubuh lainnya.
“Kami semua tak dapat menahan tangis
melihat nasib Hudianto,”kata Linto, sedih. Namun, pemuda yang sudah malang
melintang di rimba raya ini kembali sadar dan mencoba bersikap tenang. Ia
berusaha mengecek nadi rekannya itu. “Ternyata Hudianto hanya pingsan, itu
membuat kami sedikit lega,”kata Linto. Saat Hudianto siuman rasa optimisme tim
kembali menggelora. “Itulah momen paling mengharukan bagi kami,”ujar Linto
dengan mata berkaca-kaca.
Dewi keberuntungan nampaknya masih
memihak pada para pendaki dari Mapala Unsultra ini. Sebab, jika saja Hudianto
terhempas melebar, maka bukan tidak mungkin akan jatuh ke dasar tebing yang
diperkirakan dalamnya mencapai 60 meter itu. Linto mencoba memadang di
sekelilingnya, yang terlihat hanyalah pepohonan lebat dan batu-batu cadas tajam
berserakan.
Siang itu Linto dan rekannya praktis
tidak bisa berbuat banyak, selain mengurusi Hudianto yang kesakitan. Mereka tak
menyangka akan terjebak di teras tebing yang lebarnya tak lebih dari 4 x 4
meter persegi itu. Kondisi cukup gelap di sekitar tebing dan sesekali berubah
terang benderang karena tersambar cahaya kilat di langit. Mereka kemudian
perlahan mengevakusi korban ke sebuah lembah melalui celah tebing yang dalamnya
sekitar 50 meter.
Air hujan tak berhenti tumpah dari
langit, mengguyur tubuh para pendaki tanpa ampun. Kondisi ini kian membuat para
pendaki dihantuai rasa cemas. Apalagi kondisi logistik yang kian menipis
menambah beban yang begitu besar. Rasa letih di tubuh Linto berpacu dengan
waktu. Memaksa Linto harus membuat keputusan cepat. Ia memutuskan membuat
basecamp di lembah tebing itu. Tenda didirikan. Alat penerang dinyalakan. Linto
pun memimpin musyawarah. “Kami berembuk mencari solusi keluar dari krisis itu.
Dan tak ada cara lain, selain mencari pertolongan,”kata Linto.
Tawaran Linto sendiri tak langsung
diamini kawan-kawannya. Ada sebagain rekannya memilih mengevakuasi Hudianto
bersama-sama keluar dari mulut tubir jurang yang ekstrim itu. Namun kondisi itu
dianggap riskan oleh Linto. Ia memberi pertimbangan logis, dimana kondisi fisik
Hudianto yang terluka parah tidak memungkinkan untuk dievakuasi oleh mereka
berenam.
“Saya sangat mengerti kondisi
teman-teman yang sudah mulai kehabisan tenaga tidak mungkin bisa mengevakuasi
Hudianto. Jadi tak ada cara lain selain bergerak keluar mencari
pertolongan,”kata Linto.
Setelah semuanya sepakat, Linto
mengajukan diri mencari bala bantuan di perkampungan. Tentu saja resikonya
harus menuruni tebing. Ia meminta dua orang untuk ikut menemaninya melanjutkan
perjalanan. Dua rekannya, Cula dan Ompe menyanggupi tawaran Linto untuk turun
gunung mencari bala bantuan di kampung terdekat.
Sebenarnya Linto cukup sedih
meninggalkan empat rekannya (Hudianto, Henggar, Arya dan Guntur) itu, namun
sebagai ketua, Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan jiwa
rekan-rekannya, Linto harus rela menempuh perjalanan yang cukup menguras tenaga
itu. Saat hendak pergi, Linto menunjuk Arya sebagai pemimpin baru bagi
rekan-rekannya di lembah. “Saya cukup tau kecakapan Arya, dia tipe pendaki yang
pantang menyerah dan sangat bisa diandalkan,” kata Linto.
Mapala Unsultra sendiri berdiri
sejak 23 tahun silam. Basic kepemimpinan memang ada baiknya dan terbukti ampuh
menjadi bekal penting bagi para penggiat dunia alam liar. Dan sebagai
organisasi Pencinta Alam, Mapala membekali setiap individu anggotanya dengan
latihan kepemimpinan diri yang cukup. Dampaknya pun mereka terbiasa dengan
kepemimpinan individu yang baik. Tak hanya memimpin di saat kondisi normal,
tetapi juga di saat genting. “Intinya harus ada tumbuh saling percaya. Itu
sesuatu yang mutlak, sekaligus modal bagi setiap invidu pencinta alam,”tambah
Linto.
Keesokan harinya, tepatnya, Jumat 29
Desember 2011, Linto meninggalkan basecamp. Ia dua rekannya memulai perjalanan
mencari pertolongan. Ia sedih meninggalkan rekan-rekannya dengan kondisi
logistik yang sangat terbatas. “Saya meninggalkan mereka dengan bekal tinggal
segenggam beras dan beberapa bungkus mie instan,”ungkap Linto. Saat itu Ia
berada di ketinggian 1800 meter, tepat lokasi kecelakaan yang mereka alami.
Bersama dua rekannya, Linto menuruni gunung melalui jalur tebing yang curam.
Menggunakan peta dan alat navigasi mencari rute terdekat yang biasa digunakan
warga pencari rotan, tepatnya di jalur selatan gunung menuju Desa Tamborasi.
Pagi-pagi benar ketiganya berlalu
meninggalkan basecamp, berusaha sekuat tenaga menembus kabut dan hujan.
Perjalanan itu pula mereka mencoba meninggal jejak jalur seperti mengiris kulit
pohon dan mengikat slayer mereka di pepohonan dengan tujuan memudahkan tim
penolong nantinya untuk menemukan para korban. Menjelang sore ketiga pendaki
itu berhasil menemukan sungai tamborasi, dan membuat basecamp untuk bermalam.
“Kami merasa lega menemukan sungai,
kami yakin perkampungan sudah sangat dekat,”kata Linto. Perjalanan itu sempat
membuat satu rekannya bernama Cula mengalami cedera. Telapak kaki pria kurus
itu terluka. Kondisi itu mempengaruhi pergerakan mereka mencapai kampong. Meski
begitu mereka tetap semangat, setelah dua hari perjalanan yang cukup sulit,
mereka akhirnya menemukan perkampungan dan menelpon rekan-rekannya meminta
bantuan.
Di Kota Kendari yang berjarak 170 KM
dari lokasi kejadian, Handphone Arwan ganda Saputra (30 tahun) berdering. Mimik
wajah salah satu senior Mapala Unsultra ini mendadak berubah, saat mendengar
sepotong informasi dari seseorang di ujung telepon. Ia lalu menulis pesan
berantai itu ke situs jejaring sosial sebagai tindakan emergency respon.
Beragam tanggapan bermunculan. Ada
empati mendalam dari semua pihak, terutama para rekan dan aktivis pencinta
alam. Info penting itu terkait kecelakaan yang dialami seorang pendaki yang
terjatuh di lembah tebing Gunung Mekongga, tepatnya di ketinggian 1800 meter
dpl. Arwan pun mencoba mencari bantuan dengan membuat laporan ke tim SAR
Kolaka. Arwan Ganda mendapat info dari Linto Mustafa Ibrahim yang memberi kabar
yang mengharu biru itu. Linto dan dua rekannya berhasil selamat setelah
menempuh dua hari perjalanan yang cukup sulit.
Di tempat terpisah, kantor SAR
Kolaka cukup sigap merespon informasi laporan para pendaki yang hilang. Satu
jam setelah menerima laporan, tim SAR Kolaka bersiap menuju Desa Tamborasi,
desa dimana tiga pendaki yang selamat beristrahat.
Hari itu juga tim SAR Kolaka,
kalangan Pencinta Alam dan kepolisian tiba di Desa Tamborasi menemui Linto dan
kawan-kawan. Melihat kondisi fisik yang melemah, tim medis SAR langsung
memberikan pengobatan pada para pendaki yang selamat itu. Berat tubuh ketiganya
terlihat turun drastis. Menunjukkan asupan makanan yang sangat terbatas semasa
dalam perjalanan ekspedisi. Ketiganya dianjurkan beristrahat penuh untuk
memulihkan tenaga. Linto mengaku selama perjalanan mereka tak lagi memenuhi
2000 kalori di tubuh mereka.
“Kami hanya mendapat asupan makanan
dari hutan seperti daun-daunan di hutan,”ujarnya.
Adalah Budiraharjo, ketua tim
operasi dari SAR Kolaka langsung memimpin upaya pencarian. Sebelum memulai
pencarian, SAR meminta informasi dari ketiga pendaki seputar posisi lokasi
keberadaan empat korban. Dari informasi yang diberikan Linto, jarak dari desa
ke tempat para korban kurang lebih 9 Km. Dari informasi ini tim relawan
pencarian korban bergerak menuju lokasi.
Jumlah relawan yang ke TKP sejak
kemarin berjumlah 58 orang dengan 3 kali pemberangkatan. Melibatkan tim SAR
unit kolaka, Polres Kolut, Polsek Rante Angin, Kelompok Pencinta Alam di
Kendari, Kolaka, serta penduduk setempat. Sayang saat pemberangkatan pertama
empat tim relawan dari kepolisian terpaksa harus kembali karena tidak mampu
menembus beratnya medan yang dilalui.
Linto juga membeberkan seputar
kondisi rekan-rekannya, dimana saat ditinggalkan cukup memprihatinkan terutama
soal persediaan logistik yang semakin menipis. Berbagai spekulasi pun mencuat
seiring dengan kondisi para korban. Di balik semangat optimisme ada pula
proyeksi kemungkinan terburuk dialami para korban, terutama korban Hudianto
yang terluka parah. Secara psikologi memungkinkan para pendaki yang lapar
cenderung memunculkan sifat individu mereka.
“Itu yang saya takutkan, jangan
sampai sifat individu itu muncul dan membuat mereka tercerai berai untuk
menyelamatkan diri sendiri, ”kata Anto, seorang penggiat alam di Kolaka. Jika
itu yang terjadi maka akan semakin menyulitkan tim melakukan pencarian.
Berhasil Ditemukan
Kabar belum ditemukannya para korban memang sempat mencuatkan spekulasi dari sebagai orang khususnya yang menaruh perhatian pada troublenya korban. Bahkan memunculkan empati yang luar biasa dari banyak kelompok pencinta di daerah ini. Buktinya, Rabu pagi relawan pencari bertambah. Jumlahnya mencapai 56 orang. Mereka rata-rata dari KPA di Kendari dan Kolaka yang datang dengan suka rela menawarkan diri menjadi relawan untuk membantu melakukan mencarian. Mereka adalah dari klub mahasiswa pencinta alam seperti Mahacala dan sejumlah KPA.
“Ini semangat yang besar dari kami
pencinta alam sebagai rasa solidaritas sesame pencinta alam,”ujar Iwan seorang
aktifis pencinta alam.
Sementara itu polisi juga ikut andil
besar melakukaan pencarian dan telah melebur menjadi tim sejak pencarian hari
pertama, pada Senin (2/1/12) lalu. Dari Markas Kepolisian Daerah Sultra telah
memerintahkan jajaran kepolisian di Kokaka dan Kolaka Utara untuk membantu
pencarian bersama tim SAR.
Beruntunglah keempat teguh terhadap
pendirian. Mereka bertahan meski dengan bekal yang telah habis. Kata Linto,
saat ekspedisi mereka membawa GPS, untuk menentukan titik koordinat. Ini pula
yang membantu mereka saat terjadi insiden, ploting posisi lokasi tempat para
korban langsung dihubungkaan dengan rute yang kirim untuk para tim penyelamat.
Linto dan dua rekannya memberikan titik koordinat itu, yang menuntun para
penyelamat ke lokasi tujuan. Berdasarkan plot itulah tim SAR bergerak menuju
lokasi para pendaki.
Dua hari melakukan pencarian tim
relawan memperoleh titik terang dan berhasil menemukan jejak para korban,
sesuai dengan titik koordinat yang ada. Para korban ditemukan dalam kondisi
lemah dan dehidrasi yang luar biasa. “jika saja tak segera ditemukan, mungkin
saja nasib akan berkata lain,”ujar Budi, tim SAR usai melakukjan evakuasi.
Lantas apa yang melatarbelakangi
tujuh pendaki ini melakukan penjelajahan mencari liang perut bumi yang konon
terbesar di sulawesi?
Cerita bermula, ketika pertengahan
Desember 2011 silam. Kesibukan nampak di Markas Mapala Universitas Sulawesi
Tenggara. Tujuh anggota pencinta alam telah melakukan persiapan-persiapan untuk
melakukan ekspedisi. Mereka begitu bersemangat. Packing alat dan logistik untuk
kegiatan ekspedisi di gunung Mekongga. Ini kali ke empat kegiatan Mapala
naik turun di gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara itu, sejak sepuluh tahun
terakhir. Mereka tak hendak menuju puncak Mekongga, melainkan tertarik dengan
potensi gua yang konon terbesar di Sulawesi itu.
Goa Mekongga memang tengah menjadi perbincangan
hangat dan menjadi incaran para penjelajah alam negeri ini. Selain tingkat
tantangan pencarian yang harus menjejalahi tebing terjal, juga karena
eksplorasi Mekongga yang masih minim khususnya goa alamnya.
Pencarian goa terbesar ini
sebenarnya bukan hal baru. Bahkan telah dijajal oleh pendaki-pendaki dari pulau
jawa. “Pernah tahun 2003 silam, kawan-kawan dari Mapala Universitas Atmajaya,
melakukan ekspedisi pencarian goa vertical Mekongga, namun mereka tak berhasil
menemukan,”kata Linto, panggilan akrab penggila ekpedisi gunung hutan
ini. Di tahun yang sama Mapala dari Univesitas Jogyakarta juga mencoba
menjajal ganasnya hutan Mekongga dengan mencari lembah terdalam itu. Lagi-lagi
tim ekpedisi itu gagal mencapai target dan harus pulang dengan tangan hampa.
Penelitian ekpedisi ilmiah potensi
alam goa Sulawesi Tenggara memang menantang para pencinta alam, salah satunya
goa-goa di kawasan pegunungan Mekongga. Apalagi, selama ini belum ada
penemuan spekltakuler terhadap goa di berbagai tempat di Sulawesi
Tenggara. Berbagai informasi hasil ekplorasi dari para aktifis KPA
(Kelompok Pencinta Alam) di Sultra, penemuan goa-goa di daerah kerap menjadi
pembicaran para penggiat lingkungan, misalnya saja hasil ekplorasi goa di Desa
Mangolo, Kabupaten Kolaka dikenal sebagai desa yang memiliki gua terbaik di
daratan Sultra. Menjadi unik karena memiliki kawasan Karst yang cukup besar.
Ada juga goa yang punya nilai sejarah seperti Gua Liakobori di Muna karena
berkaitan dengan kehidupan masa prasejarah.
Atau goa Watuburi di Kabaena Barat,
Kabupaten Bombana, yang mempunyai keunikan karena merupakan kombinasi goa
vertical dan horizontal dengan panjang mencapai 200 meter. Demikian pula goa
alam dengan spesifik vertical terdalam di berada di Pulau Wawonii dan Kecamatan
Soropia, Kabupaten Konawe. Termasuk goa di Tanjung Peropa dengan kedalamaan
kurang lebih 100 meter dengan kombinasi vertical horizontal. Bahkan di goa-goa
ini terdapat curug atau air terjun (waterpall) yang indah.
Mapala Unsultra pun mencoba membangun
kembali impian para pencinta alam itu dengan melakukan riset ke berbagai peta
dan hasilnya mereka menemukan sebuah titik yang diyakini sebuah goa terbesar
melalui riset situs goggle map. “Kami mencoba mengawinkan penemuan melalui
riset internet dengan peta bumi, dan kami yakin goa inilah yang
dimaksud,”cerita Linto. Dari riset kecil itulah, Linto bersama tim Mapala
Unsultra menggodok persiapan ekpedisi.
Bagi penggiat alam, goa punya nilai
tersendiri. Secara ilmiah goa memiliki ekosistem tersendiri dari eksositem di
sekitarnya. Mempunyai nilai estetika yang berbeda dengan potensi alam lain di
luar goa. Punya potensi sumber daya alam air yang abadi (acuifer). Karenanya
secara biologi goa menarik untuk dipelajari. “Ada potensi hidrology berupa air
abadi didalam goa yang tidak dipahami oleh banyak kalangan, inilah yang menarik
minat para pencinta alam untuk mempelajari nilai ilmiah di goa melalui ilmu
speleologi,”kata Iwan, salah satu aktifis pencinta goa di Kendari.
Speleologi sebagaimana ditulis Wikipedia,
adalah ilmu yang mempelajari tentang goa termasuk proses pembuatannya
(speleogenesis), struktur, fisik, sejarah dan aspek biologis. Asal kata
speleologi berasal dari bahasa Yunani spelaion yang berarti goa dan logos yang
berarti ilmu. Speleologi sering dikaitkan dengan aktivitas penjelajahan gua
yang dikenal dengan istilah caving. ***
Comments
Post a Comment