Denyut Kehidupan di Kampung Adat Huka'Ea
Rumah tradisional masyarakat adat moronene di kampung adat hukaea laea, Bombana, Sulawesi Tenggara. Dokumen foto : Yoshasrul |
Cemara laut di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Dokumen foto : Yoshasrul |
Bersantai di kawasam hutan cemara di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Dokumen foto : Yoshasrul |
Memori mengantarku
kembali ke Kampung Adat Hukaea, saat bersama
rombongan jurnalis trip melewati kawasan savanna di Taman Nasional Rawa
Aopa Watumohai (TNRAW). Tepat empat bulan musim panas menerjang dan membuat
kering seluruh permukaan tanah di kawasan itu.
Gelombang panas tahun
itu menjadi rekor terpanas sepanjang masa. Dihasilkan dari rangkaian gelombang
elnino menerjang sepanjang kawasan Asia hingga ke semenanjung Australia.
Gelombang yang telah menyebabkan kerugian cukup besar bagi alam dan membakar
lebih dari separuh areal vegetasi savanna di TNRAW seluas 30 ribu hektar.
Padahal, vegetasi savana di taman nasional ini memiliki ciri dan keunikan yang
khas, karena merupakan asosiasi antara padang rumput dengan tumbuhan agel,
lontar dan bambu duri serta semak belukar, juga tumbuhan di sepanjang
sungai-sungai di padang savana tersebut.
Kemarau panjang juga
nyaris merenggut kehidupan sekumpulan kecil pohon cemara laut yang tumbuh subur
di tengah padang savanna. Daun cemara berbentuk seperti jarum laut serta
berwarna hijau-keabu-abuan sebagian telah berubah menjadi kuning kecoklatan
akibat terpapar panas.
Cemara laut adalah
salah satu jenis cemara dari golongan Casuarina. Tumbuhan ini juga memiliki
sebutan lain yaitu Australian pine dan beach she-oak. Tumbuhan ini masih
berkerabat dekat dengan cemara sumatera dan cemara gunung. Cemara laut
merupakan tanamah jenis pohon berumah satu dengan percabangan halus, dan
pepagan atau kulit kayunya berwarna coklat-keabu-abuan muda. Bagian batangnya yang masih muda
bertekstur halus sedangkan batang yang tua bertekstur kasar, tebal, dan
beralur. Pepagan cemara laut berwarna kemerahan dan berbau harum.
Mengeringnya pepohonan
berdampak pada kehidupan satwa sekitarnya. Penemuan beberapa ekor bangkai tikus
di sekitar pepohonan menjadi bukti betapa dasyatnya musim panas tahun ini.
Bangkainya mengering ditemukan tertelungkup di batang cemara dengan gigi tajam
menguning.
Kearifan di Kampung
Adat
Musim panas membuat
debit air sungai LaEa kian menipis. Air sungai tak lagi mampu menyuplai air ke
areal persawahan penduduk. Akibatnya petak-petak sawah menjadi kerontang karena
tidak dialiri air, membuat petani HukaEa benar-benar tak berdaya.
Pun air tak lagi
mengairi sungai-sungai kecil di dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai (TNRAW) yang selama ini menjadi sumber kehidupan flora dan fauna.
Sungai LaEa mengalir tepat di bawah kaki Gunung Tawunaula. Dalam cerita legenda
masyarakat Moronene, Gunung Tawunaula dipercaya sebagai tempat pertama kalinya
Oheo atau dewa langit turun ke bumi dan kemudian menjadi raja Moronene pertama.
Saat berkunjung di
Kampung adat HukaEa LaEa, Gunung Tawunaula terlihat jelas dari balai adat
Moronene. Keberadaannya punya arti penting sekaligus menjadi pelecut semangat
warga untuk terus mempertahankan nilai-nilai adat peninggalan masa lampau
masyarakat HukaEa LaEa di negeri penghasil emas itu. Warga sepenuhnya masih
memegang teguh ajaran nenek moyang mereka, ini tergambar dari semangat gotong
royong membangun balai adat tersebut.
Rumah adat dengan
ragam corak warna itu, dibangun di sebuah tanah lapang tepat di tengah kampung
dengan dana seaadanya hasil swadaya masyarakat kampung. Di Balai itulah segala
aktifitas adat istiadat dilakukan, seperti perkawinan dan menyelesaikan
perselisihan antara warga, serta mengadili warga yang melanggar aturan adat. Di
balai adat ini pula mereka kerap membicarakan berbagai situasi, baik soal
kondisi keamanan kampung hingga pasokan lumbung pangan.
Jika kaum lelaki
secara suka rela mendirikan boru-boru atau pondok kecil yang berfungsi untuk
menyimpan hasil bumi, maka kaum perempuan sibuk membuat aneka panganan untuk
mereka yang kerja bakti. Saat suhu menghangat, kaum perempuan HukaEa LaEa
menganyam tikar agel serta menikmati panen mete.
Dalam banyak penelitian,
diketahui perkampungan orang Moronene terletak di daerah hutan yang memiliki
berbagai tipe ekosistem, seperti: ekosistem bakau (mangrove), hutan pantai,
savana, hutan hujan pegunungan rendah, dan ekosistem rawa yang sarat dengan
keindahan dan kekayaan sumberdaya alamnya. Oleh sebab itu, seluruh ekosistem
yang terdapat disekitar kampung orang Moronene telah menjadi habitat berbagai
jenis kehidupan liar, termasuk kampung moronene di kawasan HukaEa LaEa.
Areal persawahan masyarakat adat Moronene di kampung adat Hukaea Laea yang mengering dilanda kemarau panjang Dokumentasi foto: Yoshasrul |
Sebagian besar orang
Moronene HukaEa LaEa bekerja sebagai petani dan tidak mengenyam pindidikan
formal. Mereka ditasbihkan sebagai etnik tertua dan pertama yang mendiami
dataran Sulawesi Tenggara.
Para antropolog telah
memetakan asal usul nenek moyangorang Moronene berasal dari daratan Filipina
yang diperkirakan mulai bermukim sejak tahun 1720. Dan secara administratif
perkampungan orang Moronene meliputi 7 (tujuh) wilayah kecamatan yang tersebar
di kecamatan Kabaena, Kabaena Timur, Rumbia, Poleang Barat, Poleang Timur,
Rarowatu, Watubangga (di wilayah Buton) serta 1 (satu) kecamatan di wilayah
Donggala. Ketujuh kecamatan tersebut dulunya merupakan wilayah kerajaan
Moronene yang luasnya mencapai 3.393,67 Km2. Saat ini, mereka umumnya bermukim
dan menyebar di sebelah selatan Sulawesi Tenggara dan salah satu kampung (tobu)
tertuanya adalah tobu HukaEa LaEa.
Mansyur Lababa, ,
Ketua Lembaga Adat Moronene HukaEa LaEa, menjelaskan, nama HukaEa sendiri
diambil dari dua suku kata, yakni, Huka dan Ea. Huka artinya melinjo sedangkan
Ea berarti besar. Jadi arti Hukaea adalah Melinjo yang besar. Penamaan itu tak
lepas dari banyaknya tanaman melinjo yang tumbuh di daerah itu. Sedangkan LaEa
memiliki arti Sungai Besar.
Kampung HukaEa LaEa
juga punya nama lain yakni, kampung Wukulanu yang artinya biji atau tulang agel,
mengingat banyaknya tumbuhan agel hidup di daerah itu. “Masa itu, masyarakat
menggunakan biji agel untuk kebutuhan ramuan pondok kebun atau rumah kecil
untuk beristrahat,”kata Mansyur Lababa.
Pondok kebun dalam
istilah moronene disebut bantea atau boru-boru (pondok kecil). Pondok ini
berlaku di jaman tobu jauh sebelum adanya istilah kampung. Tobu sendiri
merupakan wilayah yang belum tertata, saat masyarakat masih hidup berkelompok/
berkumpul.
Oleh warga, biji agel
sendiri dijadikan sebagai pengikat rumah, sedang daunnya digunakan untuk atap.
Sementara dinding dan lantainya menggunakan bahan dari bambu. Selain untuk
pengikat, biji agel digunakan untuk dinding rumah dan ada juga warga yang
menggunakan daun rumbia atau alang-alang untuk atap rumah.
Mansyur Lababa, Ketua Adat Kampung Moronene di Kampuang Adat Hukaea Laea. Dokumentasi foto: Yoshasrul |
Rumah-rumah berbahan
biji agel warga HukaEa ini terakhir disaksikan sekira tahun 1995, berdiri kokoh
di sepanjang kampong. Namun saat operasi sapu jagat yang gencarkan pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara, rumah tradisional tersebut dibumihanguskan karena
dianggap warga merambah kawasan TNRAW. Saat itu rumah-rumah warga dirubuhkan
dan dibakar, sedang penghuninya diusir ke luar dari taman yang merupakan tanah
leluhur mereka.
Kampung HukaEa LaEa
punya cerita panjang dari masa ke masa, tak hanya soal tradisi adat istiadat
yang dikemas dalam budaya nan besar, tetapi eksistensi perjuangan masyarakat
yang tak kenal lelah mempertahankan tanah leluhur mereka demi eksistenis adat
istiadat dan budaya sebagai identitas etnik Moronene khususnya di kampung
HukaEa. Bagi warga, dua puluh tahun berjuang untuk mendapatkan pengakuan
sebagai masyarakat adat memang bukan waktu yang singkat, karena harus ditebus
dengan darah, keringat dan air mata.
Mansyur Lababa
bercerita, pengabaian eksistensi kearifan lokal masyarakat adat inilah yang
menyebabkan terjadinya perselisihan dalam memanfaatkan sumberdaya alam di
sekitar tobu HukaEa LaEa. Perselisihan kerapkali terjadi, dimana orang Moronene
beranggapan bahwa tobu yang mereka miliki sekarang ini merupakan warisan para
leluhur mereka yang harus dijaga keberadaannya. Namun oleh petugas taman
menganggap mereka sebagai kelompok perambah kawasan. Inilah wujud dari
ketimpangan struktur agraria yang dirasakan secara tidak langsung oleh penduduk
asli yang bermuara pada konflik vertikal.
Kampung adat Hukaea
Laeya sendiri berada di wilayah administrasi dusun III, Desa Watuwatu. Akses
jalan ke kampung ini cukup terisolir. Musti melewati kawasan savana TNRAW
sejauh 9 KM dengan jalan tanah bertekstur lembek.Sedangkan jarak dari kampung
adat ke Desa Watuwatu lumayan jauh, kurang lebih 20 KM. Karena jarak yang
lumayan jauh itu pula membuat banyak warga enggan mengurus surat-surat seperti
KTP atau kartu keluarga.
Corak warna menghiasi dinding bangunan balai adat moronene di kampung adat hukaea laea. Dokumentasi foto: Yoshasrul |
“Mereka memang tidak
mengatur kita. Kampung Kami ini otonomi sendiri, karena, aturan dan hukum yang
kami pakai di sini adalah sistem adat. Demikian pula soal pemilihan, semua
perangkat adat di sini tidak ada yang dipilih, karena diangkat berdasarkan
turun temurun. Jadi huhbungannya dengan desa ya hanya soal wilayah
administrarif saja karena memang belum ada pengakuan, “kata Mansyur.
Barulah setelah Perda
No 4 tentang pengakuan, perlindungan masyarakat adat moroene HukaEa LaEa baru
akan dibuat sendiri wilayah administrasi kampung adat HukaEa LaEa serta adanya
peraturan bupati, kemungkinan, kampung adat HukaEa LaEa akan berpisah dari
wilayah Desa Watuwatu karena bertentangan dengan aturan dan hukum-hukum yang
ada di desa dengan kita di hukum adat.
“Alhamdulillah,
pengakuan pemerintah sudah ada, kita sudah kuat. Bahkan sebelum ada perda pun
kami sudah mulai, sejarah de facto kita sudah diakui, tinggal yurudis formalnya
saja yang belum ada. Artinya sudah diterima karena sudah ada dalam lembaran
daerah. Tinggal disinkronisasikan saja dengan UU No 6 tentang desa adat dengan
kita masyarakaat adat ini, yang sistem hukum adat kita pasti berbeda,ungkap
Mansyur .
“Perbedaan di desa
adat dengan masyarakaat adat adalah, di desa adat pasti ada pemilihan, jangka
waktu, dst, sedangkan masyaaakat adat tidak ada pemilihan karena sudah diatur
secara turun temurun,”tambahnya.
Saat ini terdapat 110
KK atau 430 jiwa warga yang menghuni kawasan adat HukaEa LaEa. Berada dalam
kawasan TNRAW membuat masyarakat lebih nyaman, karena kearifan local masyarakat
adat sejalan dengan fungsi konservasi itu sendiri.
Mansyur Lababa
mengaku, dalam aturan adat istiadat, perlakuan terhadap alam agar tetap lestari
sangat dipegang teguh secara turun temurun. Terutama berkaitan dengan
keberlangsungan sumberdaya alam disekitar tempat dihidup orang Moronene Hukaea
Laea, maka ditunjuk Totongano Lombo dan Totongano Inalahi.
Adapun tanggungjawab
Totongano Lombo adalah menangani urusan kehutanan dan lingkungan, mengatur
pembagian dan penentuan lahan yang akan dijadikan areal pertanian dan
menentukan luas areal lahan setiap warga. Sedangkan Totongano Inalahi
bertanggungjawab khusus menentukan jumlah dan jenis hasil hutan yang dapat
diambil, menjaga kelestarian air dan mengawasi pengelolaan hutan. Selain yang
telah disebutkan juga terdapat Kamotuano Kampo (tempat bertanya segala
masalah), Tatangano Kadadi (mengatur satwa dan hewan yang dapat diburu), Kapala
(kepala kampung/desa), Serea (menyampaikan perintah kepala kampong ke warga)
dan Juru Tulisi (sekretaris).
Sekolah formal di Kampung Hukaea Laeya. Dokumentasi foto: Yoshasrul |
Kini seiring perubahan
negeri, paradigm berpikir pemerintah perlahan berubah.Wakil Bupati Bombana Hj
Masyura Ila Ladamay mengatakan sosialisasi Perda No 4 tahun 2015 tentang
pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat Adat Moronene HukaEa LaEa
di Bombana sangat penting sebagai upaya mewujudkan keadilan bagi masyarakat
adat.Pemerintah bahkan telah mengakui bahwa tobu-tobu orang Moronene harus
dijaga kelestariannya dan berharap masyarakat adat HukaEa LaEa benar-benar
menjadi kawasan adat yang mengedepankan kearifan lokal mereka.
Mansyur Lababa, yang
juga menjabat sebagai Kapala Kampo HukaEa LaEa menilai Perda No 4 tahun 2015
tentang pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat Adat Moronene
HukaEa LaEa di Bombana sangat penting sebagai upaya mewujudkan keadilan bagi
masyarakat adat.“Setidaknya pengakuan atas eksistensi masyarakat adat Hukaea
Laea sudah ada dari pemerintah kabupaten. Ini telah menjadi pegangan bagi warga
untuk terus melanjutkan kehidupan dan melestarikan adat istiadat yang menjadi
warisan nenek moyang kami,”ungkap Mansyur Lababa. ***
Comments
Post a Comment