Menjaga “Menara Air” Pulau Kabaena
Pulau Kabaena dengan latar gunung Watusangia. foto: Yoshasrul |
Dua puluh lima
wisatawan asing menginjakkan kaki di Pulau Kabaena. Mereka datang dari benua
yang jaraknya bermil-mil, demi menikmati keindahan alam Desa Tangkeno. Saat
tiba, para turis yang mayoritas pelajar itu, mendapati kehidupan yang berbeda,
berbicara dengan orang-orang lokal yang masih menjunjung tinggi adat istiadat.
Sebagai keturunan Mokole Kabaena, penduduk Tangkeno masih menjalani gaya hidup
tradisional. Mereka berbicara dalam bahasa tradisional Tokotua, dan berladang
sebagaimana yang dilakukan leluhur mereka selama berabad silam. Pada hari-hari
tertentu, mereka berkumpul di alun-alun untuk menonton tarian lumense yang
diiringi oleh suara tabuhan tambur. Lumense jenis tarian yang dibawakan para
wanita tua dengan gerakan gemulai bak gadis belia.
Setiap rumah di
tangkeno adalah rumah bagi tamu yang berkunjung. Rumah-rumah yang semula
ditinggali pribadi, disulap menjadi homestay. Walau tak
senyaman menginap di hotel, namun kebutuhan dasar tamu, seperti, makan, kamar
tidur dan MCK sudah dapat terpenuhi bagi wisatawan. Perubahan sosial
masyarakat berlaku semenjak desa berpenduduk 210 KK itu ditetapkan sebagai desa
wisata, tahun 2013 silam. Ketika itu, seluruh warga Tangkeno menyambut dengan
berbenah. Membekali diri mereka dengan pengetahuan mengelola wisata.
Demi menjaga nama
baik pariwisata, warga sepakat untuk menjaga kebersihan lingkungan desa. Warga
menyediakan tempat sampah di halaman rumah masing-masing. Di sudut desa,
terpasang papan pengumuman bertuliskan, “Buanglah Sampah Pada Tempatnya, Meski
Hanya Bungkusan Permen Atau Puntung Rokok”.
Sebagai destinasi
wisata baru, tentu warga merasa masih memiliki banyak kekurangan, terutama soal
penguasaan bahasa asing. Bahkan, hingga kini belum ada warga tangkeno yang
mampu berbahasa ingris dengan baik. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi warga
penggiat wisata di Tengkeno.
Suasana Desa Tangkeno. foto: Yoshasrul |
Di waktu senggang,
Kepala Desa Tangkeno, Abdul Madjid Ege menyambangi tamu-tamu asing itu. Pria
uzur itu sebenarnya cukup senang dengan kehadiran mereka, namun rasa penasaran
mengganjal pikirannya. Ia lalu bertanya pada seorang guru pemandu,
“Kenapa harus ke Tangkeno, Apa yang membuat Anda tertarik datang ke sini?
Dan kenapa Anda membiarkan mereka (turis pelajar) berjalan kaki menyusuri
perkampungan yang letaknya di ketinggian?,”
Madjid mendapatkan
jawaban mengejutkan. “Saya sengaja mengajak mereka berjalan kaki, agar mereka
mengerti, bahwa, alam itu seperti ini,”jawabnya dengan bahasa Indonesia minus.
Sang guru mengaku, di negerinya, Ia dan anak didiknya tidak menemukan
pemandangan alam yang indah seperti di Tangkeno. “Saat keluar rumah, Kami
langsung tertuju gedung-gedung tinggi. Jadi kami memutuskan ke sini
dengan harapan agar mereka mengerti, bahwa, masih ada alam yang seperti
ini.,”ungkap sang guru.
Dua hari adalah waktu
yang padat bagi para turis melakukan eksplorasi wisata di tangkeno. Mereka
mengunjungi situs-situs sejarah, menjelajahi hutan desa, memotret kehidupan
warga hingga berendam di sungai tangkeno.
Legenda
Abdul Madjid Ege
Semangat Abdul Madjid
Ege tak rapuh, meski di usianya yang tergolong sepuh, 73 tahun. Lelaki
gaek ini masih cukup kuat mendaki bukit-bukit di Tangkeno. Berjalan
berkilo-kilo jauhnya, mengurusi rakyat hingga berdikusi sampai larut
malam. Ingatannya tajam, bercerita dengan detil setiap senti sejarah negeri
Tokotua. Sesekali Ia melempar kelakar kepada jurnalis-jurnalis muda
yang meminta berpose kepadanya. “Sebenarnya Saya sudah tidak ingin
lagi difoto. Malu melihat wajah saya yang tua,”ujarnya sembari tertawa renyah.
Abdul Madjid Ege
adalah tokoh sekaligus budayawan Kabaena. Ia lahir di Tangkeno 6 Agustus 1945.
Oleh warga Abdul Madjid Ege dipercaya sebagai Kepala Desa Tangkeno.
Pribadi yang ramah dan senang bercerita.
Di balik sikap
ramahnya, Madjid sebenanya sosok peodal yang agamais. Ia masih kukuh
mempertahankan tradisi budaya Kabaena di tengah kerasnya benturan modernisasi.
Untuk beberapa hal, Madjid menerapkan larangan keras bagi warganya untuk tidak
minum minuman keras. “Selain haram, miras adalah pemicu kerusakan ahlak,”kata
Madjid. Bagi yang melanggar, maka sanksi keras diterapkan, yakni
pemberlakukan hukuman adat, berupa pukulan rotan di tubuh. Sanksi adat ini
dipatuhi warga, karena itu Tangkeno aman dari segala tindakan kriminal.
Meski begitu, Madjid
Ege cukup moderat terutama untuk urusan adat istiadat. Sistem perkawinan orang
moronene yang terbilang pelik dapat dibuatnya jadi sederhana. Dalam
urusan adat perkawinan misalnya, jika dahulu dalam adat biasa ditetapkan
kebutuhan yang harus ditanggung seorang lelaki jika yang menikahi gadis
Kabaena, yakni berupa mahar beras dan kerbau. “Menikahi orang biasa, mahar
adatnya 4 ekor kerbau, sedangkan menikahi kaum bangsawan, maharnya 8
sampai 12 ekor kerbau,”ungkapnya. Karena kerbau semakin mahal dan langka,
maka dapat diganti sapi. Kita tidak ingin memberatkan mereka yang mau menikah,
jadi ya disesuaikan saja semampunya,”kata Madjid.
Jarak Desa Tangkeno
sebenarnya tak cukup jauh dari kota Kecamatan Kabaena Tengah di Sikeli, yakni,
kurang lebih 17 KM saja. Namun, dengan posisi desa yang berada paling ujung,
membuat pembangunan infrastruktur agak tertinggal dibanding dari
desa-desa lain di Kabaena. Terutama infrastruktur jalan yang mulai rusak
serta longsor di beberapa titik. Kondisi yang membuat pengendara harus ekstra
hati-hati melewati jalan rusak menanjak dan berjurang cukup dalam.
Sebelum mencapai
Tangkeno, kita akan melalui perkampungan warga yang dibangun di perbukitan
hingga ke kaki lembah. Sepanjang jalan wangi cengkeh menyebar menggoda
hidung. Suhu udara pun perlahan terasa mulai sejuk dan berangin. Di
sepanjang jalan, dinding-dinding bukit telah dipenuhi tanaman.
Tanah Tangkeno cukup
subur untuk segala jenis tanaman. Suhu yang dingin membuat tanaman jangka
panjang seperti cengkeh, kopi, jambu mete, enau hingga kelapa leluasa tumbuh
dan menghasilkan buah yang banyak. Beberapa warga, bahkan, pernah mencoba
menanam pohon apel. Sayangnya, bibit pohon apel bantuan pemerintah itu sebagian
besar mati akibat dimakan ternak kambing. “Mereka menanam tapi tidak
menjaganya. Sehingga kambing leluasa memakan bibit pohon apel,”ungkap Madjid.
“Ada beberapa pohon apel yang tumbuh besar, bahkan sempat berbuah, walau
buahnya kecil-kecil,”kata Madjid.
Dulu, perkampungan
ini bagian dari desa induk Enano. Tangkeno sendiri merupakan desa pemekaran
dari Desa Enano. Pada awal pemekaran, Desa Tangkeno bernama Desa Enano di
Tangkeno, sedangkan Desa induk disebut Desa Tangkeno di Enano. Perubahan nama
dari Desa Enano di Tangkeno menjadi Desa Tangkeno terjadi pada tahun 2013.
Mayoritas penduduknya berkerja sebagai petani. Sebagian lagi bekerja sebagai
Pegawai Negeri Sipil dan pedagang hasil bumi.
Umumnya, penduduk
Pulau Kabaena membangun pemukiman di lembah-lembah gunung yang terdapat aliran
sungai dan sebagian lagi memilih bermukim di pesisir pantai. Di lembah, mereka
menggarap tanah dan bercocok tanam. Sejak lama, tanah yang subur menjadikan
sektor pertanian sebagai penyokong utama ekonomi warga Kabaena. Tak heran jika
kerajaan buton saat itu menjuluki daerah ini dengan nama “kabaena” yang artinya
negeri penghasil beras, meski orang-orang eropa lebih suka menyebutnya sebagai
“comboina”. Orang-orang pribumi sendiri menyebut kampung halaman mereka sebagai
tokotua. Nama “Tokotua Wonuanto” diabadikan warga di gerbang rumah berdampingan
dengan tulisan nama desa dan kecamatan. “Jadi Tokotua adalah nama lain
dari Kabaena,”kata Abdul Madjid Ege.
Letak Desa Tangkeno berada di
ketinggian, sekitar 650 meter dari permukaan laut (Mdpl), tepat di bawah kaki
gunung Watu Sangia memiliki ketinggian 1100 Mdpl. Suhu udaranya cukup
dingin. Terlebih di bulan Oktober. Angin bertiup kencang, membuat
atap-atap rumah seolah mau lepas dari jepitan. Di bulan itu warga menyiapkan
jaket dan selimut tebal. Di musim tertentu, awan akan sangat dekat dengan
kepala Anda. Tak heran jika Desa Tangkeno dijuluki dengan nama “Negeri di
Awan”.
Gunung Sangia Wita
sebenarnya lebih rendah dari tiga gunung lain, masing-masing Gunung Sabampolulu
yang memiliki ketinggian 1,500 mdpl (gunung tertinggi di Sulawesi
Tenggara), Gunung Puputandasa dan gunung Putolimbo yang memiliki
ketinggian 1,200 Mdpl. Sedang di bagian depan ke empat gunung tadi berdiri
kokoh gunung Watu Sangia (1,100 meter Mpdl).
Sangia Wita berarti
Tanah Dewa, Watu Sangia berarti Batu Dewa. Sedangkan, Sabampolulu artinya
muncul dan mengejar. “Jika dikaitkan
dengan rencana Kabaena menjadi daerah otonomi baru maka berarti nama
Sabampolulu menjadi strategis, yakni, daerah baru yang mengejar ketertinggalan
dari daerah lain,”ujar Madjid Ege.
Sejak dulu
gunung-gunung Kabaena menjadi incaran para investor tambang. Di jaman
penjajahan, tentara Jepang pernah berusaha untuk menambang nikel di kawasan
ini. “Saat datang, Mereka (Jepang) memaksa rakyat menggali tanah dan membawanya
ke kapal yang berlabuh di Sikeli,”kata Marudi, warga Tangkeno. Tak heran banyak
terdapat lubang-lubang galian di sekitar gunung Sangia Wita, Puputandasa dan
gunung Putolimbo.
Perang berakhir tak
berarti penjajahan sumber daya alam pergi dari Kabaena. Kabaena menjadi daerah
incaran investor asing. PT INCO, Tbk, bahkan, mengklaim wilayah kabaena
di bagian selatan dan tengah menjadi wilayah konsesi mereka, namun urun
ditambang tanpa alasan yang jelas.
Booming tambang di
tahun 2008 silam, negeri tokotua diserbu perusahaan tambang, dari
investor luar hingga lokalan. Tanah di seantero pulau Kabaena tak ada yang
tidak dikapling. Tambang benar-benar mengubah pola hidup rakyat. Mereka
yang terlanjur tergiur duit instan berlomba menjual tanah. Budaya dan kearifan
lokal pun terpinggirkan. Kondisi yang membuat Madjid Ege resah.
“Dulu orang tua kami punya falsafah yang kuat atas tanah yang wajib dijunjung
tinggi. Kehadiran tambang telah membuat orang-orang kabaena silau mata.
Falsafah leluhur itu telah diabaikan,”kata Abdul Madjid Ege.
Bagi Madjid, tanah
adalah ruang hidup orang-orang Tokotua. Tak heran tanah benar-benar mendapat
perlakuan istimewa sebagaimana termaktub dalam falsafah hidup orang
Tokotua.
Tentang itu, Madjid
Ege menjelaskan tiga palsafah tentang tanah, yakni, wita wutonto atau Tanah
adalah diri kita yang berarti, janganlah menjual tanah karena sama artinya
menjual diri kita.
Kemudian, , wita
toroanto atau tanah adalah tempat kehidupan, mengandung arti Tanah adalah
kehidupan kita, maka janganlah menjual tanah karena sama saja kamu menjual
sebagian kehidupanmu. Dan, wita petanoanto atau tanah adalah kuburan kita yang
mengandung arti janganlah engkau menjual tanah, karena sama saja menjual
kuburanmu sendiri.
Dengan falsafah itu,
orang kabaena saat hendak menjual tanah, maka pantang bagi mereka menyebut
menjual tanah, melainkan menjual kebun atau rumah. “Tidak boleh
menyebut menjual tanah, mengingat tanah adalah sumber kehidupan
kita,”kata Madjid.
Berpedoman pada
falsafah itu, membuat Madjid teguh pada pendiriannya. Pria yang pernah meraih
penghargaan sebagai Tokoh Anti Tambang dari Organisasi Jaringan Anti Tambang di
Jakarta dengan tegas menolak tanah-tanah di Pulau Kabaena eksploitasi
untuk kepentingan tambang. “Walau sebagian besar tanah Kabaena sudah
dieksploitasi oleh pertambangan, namun tidak untuk Desa Tangkeno !!!,”tegasnya.
Madjid tak sedikit
pun tergiur dengan bujuk rayu pengusaha tambang. Setidaknya itulah yang
dilakukan Madjid Ege saat tiga perusahaan tambang nikel hendak
mengeksploitasi tanah di Desa Tangkeno tahun 2009 silam.
Madjid bercerita,
saat itu orang-orang suruhan perusahaan silih berganti masuk ke desa membawa
surat ijin menambang yang diterbitkan pemerintah. Bukannya disambut baik,
namun justeru ditolaknya dengan keras.
Penolakan itu
membuat orang-orang perusahaan tambang protes dan menanyakan dasar
penolakan yang dilakukan Madjid.
“Kepada mereka (orang
perusahaan tambang, Red) saya bilang, benar Anda punya ijin dari pemerintah,
tapi harus melalui sosialisasi terlebih dahulu pada masyarakat adat. Dan kalau
masyarakat adat tidak mengijinkan, maka perusahaan tambang tidak berhak untuk menambang
di kawasan hutan adat. Jadi setiap masuk, perusahaan selalu tidak bisa
menambang di Tangkeno,”ungkapnya.
Klaim hutan tangkeno
sebagai hutan adat, terwariskan turun temurun. Jejak kejayaan peradaban
masa lampau dengan mudah ditemukan di desa ini. Dalam catatan sejarah, kerajaan
Tokotua atau kabaena pernah memerintah di sekitar abad 16. Pusat kerajaan
berada di Tangkeno. Situs sejarah Benteng Tawulagi yang menjadi tempat
pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat bahwa Kabaena pernah menjadi pusat
Kerajaan Moronene.
Hal ini diperkuat
dengan hasil penelusuran para ahli sejarah dan budayawan, bahwa, di wilayah
daratan tenggara Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak
ditemukan benteng seperti di Kabaena. Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene
memang di Kabaena, bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul
Majid Ege, selain masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik
Mokole, juga terdapat sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk
melawan penjajah Belanda maupun Tobelo.”Tobelo merupakan sekelompok orang pada
zaman dulu yang kerjanya sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan
merampas dan membunuh warga di daratan,” katanya. Menurut Abdul Madjid,
benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang
digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh.
Selain Benteng
Tawulagi, masih ada beberapa benteng lain, yaitu, Benteng Doule, Tontowatu,
Mataewolangka dan Tuntuntari.
Madjid menjelaskan,
Benteng Tawulagi merupakan benteng utama sekaligus tempat pelantikan mokole,
sedangkan Benteng Mataewolangka merupakan tempat mengintai musuh dari arah
selatan, Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara. Serta
benteng Tuntuntari dan Tontowatu merupakan benteng mengintai dari arah timur.
Kemakmuran tercipta seiring dengan tumbuh suburnya pertanian, yang dibarengi
dengan berkembangnya khasanah budaya, seni dan kearifan lokal.
Keberadaan
situs-situs sejarah masa lalu menjadi bukti tak terbantahkan, sekaligus
menjadi alat perjuangan bagi masyarakat tangkeno untuk menjadikan desa wisata
sekaligus alat untuk menolak kehadiran tambang.
Terlebih
dicanangkannya Desa Tangkeno sebagai Desa Wisata, setidaknya membuat Madjid Ege
sedikit bernapas lega. Menjadikan desa berpenduduk 200 KK sebagai
destinasi wisata berarti telah ikut menyelamatkan daerah Tangkeno dan
sekitarnya dari kerusakan akibat ancaman ekspoitasi tambang.
Sebagai Ketua Adat,
harapan Madjid Ege memang tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin agar tanah kelahirannya
itu tetap lestari. Berbicara dihadapan belasan wartawan, nada suara
Madjid memelan. “Ketika bentang alam kita rusak, apalagi yang mau dilihat. Hari
ini, boleh saja kita mencari kekayaan dari pertambangan, tetapi pernahkah kita
berpikir, bahwa, di hadapan kita masih ada anak cucu kita yang masih mau
menikmati keindahan alam,” ujarnya.
“Hari ini kita boleh
perkaya diri, tapi ketika alam ini hancur, pernahkah kita pikirkan bahwa
ke depan itu masih banyak generasi yang akan tumbuh. Kita yang tua ini akan
mati,”tambahnya.
Berada di ketinggian,
serta hutan alam yang masih perawan, membuat Tangkeno memiliki nilai strategis
bagi lingkungan hidup di kawasan itu. Kawasan hutan menjadi benteng
pertahanan alam khususnya pemasok ketersediaan air di kawasan Kabaena
Tengah.
Penggiat LSM Sagori,
Sahrul Gelo menyebut, di kawasan hutan tangkeno terdapat sungai-sungai besar
yang mengalir ke berbagai kawasan di Kabaena Timur, Kabaena Utara, Kabaena
Selatan, Barat dan Tengah. Dengan kata lain, hutan dan pegunungan di kabena
tengah merupakan “menara air” bagi pulau berpenduduk sekitar 31.000 jiwa
tersebut.
Ketegasan Madjid yang
didukung warga, secara sadar telah menjadikan Tangkeno sebagai benteng
pertahanan alam Pulau Kabaena, yang diharapkan dapat menyelamatkan kehidupan
sebagian besar penduduk Tokotua. “Ini yang membuat saya harus bertahan menolak
tambang. Kalau saya terima tambang, itu berarti saya ikut menghancurkan
kehidupan alam Tangkeno, dan saya akan memikul dosa berkepanjangan. Tidak hanya
itu, orang-orang yang tinggal di bawah sana akan protes dan berdemo
di Tangkeno,”kata Abdul Madjid Ege.
Serbuan tambang
sempat merambah hingga ke Tangkeno. Setidaknya, tiga perusahaan tambang
saling berebut mengkapling tanah dan bukit-bukit di Tangkeno untuk
dijadikan wilayah konsesi tambang. Namun, Kepala Desa bersama warga desa
menentang keras. Mereka sepakat untuk tidak mengijinkan sejengkal tanah pun
ditambang di daerahnya. “Tidak satu genggam pun tanah boleh dibawa dari
Tangkeno,”tegas Majid Ege.
Sekali waktu, orang sewaan
perusahaan mencoba mengambil sampel tanah di wilayah Tangkeno. Mereka
memperalat warga dari desa tetangga melakukan penggalian tanah secara
sembunyi-sembunyi. Aksi ini ketahuan warga Tangkeno dan
langsung melaporkan ke Abdul Majid Ege, selaku kepala desa. Mendapat laporan.
darah Madjid kontan mendidih. Lelaki tua itu marah besar dan langsung bergegas
menemui para pelaku. “Saya minta, tanah yang ada di mobil ini tidak
boleh dibawa pergi, saya minta tidak segenggam tanah pun kalian turunkan di desa
terongko tua. Tanah-tanah kalian ambil ini harus dikembalikan di Desa
Tangkeno,”hardik Madjid.
Kepada Madjid Ege,
pesuruh perusahaan beralasan mengambil tanah sebagai sampel untuk diperiksa
kadar nikelnya. “Mereka bilang hanya mau tau berapa kadar nikelnya. Tapi Saya
bilang, tidak perlu kalian tau,”kata Madjid.
Sikap keras Madjid
bukan tanpa alasan, sebab jika perusahaan mengetahui kadar nikel
tanah di Tangkeno, maka dipastikan perusahaan dengan segala cara akan
mengeksploitasi tanah di Tangkeno. “Kalau mereka tau kadar nikel di sini, maka
itu artinya kami akan kalah. Karena perusahaan itu punya uang. Semua mereka
bisa beli. Walau kami harus bertahan, tapi perusahaan bisa meminta pemerintah
menekan kami. Perusahaan bisa leluasa karena didukung pemerintah dan mereka itu
punya kekuatan untuk tekan kita,”jelas Madjid.
Aksi Madjid membuat
orang-orang perusahaan menyerah. Tanah milik desa tangkeno yang sudah diambil
langsung diturunkan dan setelah itu langsung pulang. “Perusahaan gunakan orang
desa sebelah untuk mengambil sampel tanah, karena tidak berani mengambil orang
tangkeno karena pasti saya pasti larang,”.
Madjid cukup sadar
jika sikap kerasnya menentang kehadiran tambang di desanya, memiliki
konsekuensi besar, bagi diri dan keluarganya. Namun, tanggung jawab
sebaai ketua adat sekaligus kepala desa membuatnya teguh memilih berada di
jalur yang dianggapnya benar.
“Saya tidak tau ke
belakang nanti, saya tidak tau apakah anak-anak itu masih mau bertahan seperti
saya atau tidak,”kata Madjid. “Tapi untunglah desa ini sudah menjadi desa
wisata, semoga selalu terlindungi dan tidak lagi diganggu dengan
tambang,”ujarnya.
“ Sangat sayang kalau
bentang alam ini rusak, sebab sejak kecil kami ke hutan-hutan yang lebat,
rimbun, sangat sayang kalau jadi tandus, nanti tidak ada lagi kesejukan di
tempat ini. Tidak ada lagi yang bisa kita andalkan,”.
Air Aren di Kabaena
Tengah
Semula saya mengira
air enau atau aren itu mengandung alkohol. Ini tak lepas dari cerita miring
tentang minuman keras di beberapa daerah yang berbahan air enau. Di Kabupaten
Muna misalnya, air enau disebut Kameko, di Bombana orang menyebutnya Konau,
sedangkan di Sulawesi Selatan disebut Saguer. Namun, setelah mendapatkan
penjelasan dari pembuat gula aren di Desa Tangkeno, barulah saya mengerti, jika
air aren yang sebenarnya adalah berasa sangat manis dan jika diminum
tidak memabukkan. Air aren lebih nikmat jika dimasak hingga mendidih dan jika
hidangkan saat hangat, sensasinya membuat tubuh segar bugar. Oleh petani, air
aren sendiri adalah bahan baku utama membuat gula aren atau gula merah.
Inilah yang banyak dilakoni warga di Desa Tangkeno, Kecamatan Kabaena Tengah,
Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Berikut ulasannya.
Proses pengambilan air aren di Kabaena Tengah. foto: Yoshasrul |
Ya, setiap pagi buta,
pria bertubuh jangkung itu sudah berkutat dengan pekerjaan membuat gula aren.
Kedua tangannya terus bekerja. Tangan kanan mengaduk-aduk air nira dalam wajan
tua yang telah mendidih. Sesekali tangannya mengipas bara kayu di tungku
tanah agar api tetap menyala.
Bagi Amar pekerjaan
ini telah dilakoninya sejak masih duduk dibangku kelas 4 sekolah dasar.
Pengetahuan itu turun dari ayahnya, Burhan, yang juga seorang pembuat
gula aren di Desa Tangkeno. “Ini sudah semacam bisnis keluarga, dan membuat
gula aren sudah turun temurun,”ujar Amar.
Gubuk berukuran 6 x 5
meter dan berdinding papan kayu dibangun Amar di pinggir jalan desa, tepat di
area kebun cengkeh miliknya. Ia tak sendiri bekerja di gubuk itu. Sehari-hari
Ia ditemani, Rahul dan Gunar yang masih kerabat dekatnya. Namun di hari
itu, kedua rekan Amar berhalangan hadir, membuat pemuda asal Tangkeno itu harus
bekerja ekstra. Bekerja memproduksi gula aren memang tak gampang, karena,
memerlukan beberapa tahapan pekerjaan, seperti, kegiatan menyadap air aren,
memasak air aren hingga proses pencetakan. Karena kerumitan itu, warga
menyiasati dengan membentuk kelompok usaha bersama.
Di seantero Pulau
Kabaena, Desa Tangkeno dikenal sebagai desa penghasil gula aren bercita rasa
tinggi. Karena kualitas gula yang dihasilkan cukup baik, maka banyak
pedagang dari Sikeli dan sekitarnya memesan gula di desa ini. Setidaknya,
terdapat 10 kelompok usaha gula aren di desa itu. Salah satunya kelompok usaha
milik Amar. Pemuda yang baru saja menikah itu mengaku, dalam seminggu Ia
dapat memproduksi gula aren sebesar 300 Kg. Namun, semua tergantung
pesanan. Sebongkah gula aren dihargai 7000 rupiah, ukurannya kecil karena
dicetak dalam batok kelapa.
Aktifitas warga membuat gula aren. foto: Yoshasrul |
Sayang, tradisi
membuat gula aren tidak lagi dilakoni banyak orang di Kabaena, seiring
kehadiran pertambangan di Pulau berpenduduk 30 ribu jiwa tersebut. Pola hidup
warga yang dulunya sebagai petani aktif, perlahan berganti menjadi masyarakat
konsumtif. Banyak warga kini telah menjual tanah dan areal perkebunan mereka ke
investor tambang karena tergiur uang instan.
Kondisi yang membuat
penggiat LSM Sagori, Sahrul Gelo, sedih sekaligus geram dengan sikap pemerintah
daerah yang terus mengeluarkan ijin tambang di daerah itu. “Terdapat 30 Ijin
Usaha Pertambangan di Pulau Kabaena. Pemberian ijin tambang di Pulau
Kabaena telah mengubah perilaku sosial dan budaya di masyarakat Kabaena.
Masyarakat yang dulunya sebagai petani kini menjadi buruh tambang. Warga
kehilangan mata pencaharian utama mereka sebagai petani karena tidak ada lagi
lahan yang dapat digarap,”ujar Sahrul Gelo.
Ancaman hilangnya
pangan lokal kini semakin di depan mata. Hasil penelitian LSM Sagori, salah
satu lembaga yang bernaung di lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
dan telah 15 tahun bekerja di Pulau Kabaena, menemukan fakta mencengangkan,
dimana, saat ini ketergantungan masyarakat dengan pangan impor telah mencapai
90 persen. “Dulu pangan lokal cukup tersedia di Kabaena, karena hampir
setiap warga memiliki areal pertanian sendiri. Kita mau makan beras merah,
sayuran dan daging semua tersedia dengan mudah. Nah, kini daun kelor saja sudah
diimpor dari luar kabaena, ini sangat ironis,”kata Sahrul Gelo.
Naskah
dan Foto: Yoshasrul
Comments
Post a Comment