Cerita Pilu dari Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Penangkaran rusa di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) sebagai upaya mengembalikan habitat rusa yang kini semakin menipis di kawasan itu. foto: Yoshasrul |
Hari menjelang sore ketika
memasuki gerbang Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Suasana nampak
sepi. Petugas taman tak terlihat berjaga di perbatasan pintu masuk.Kondisi ini jauh berbanding
terbalik dengan 20 tahun
silam, dimana penjaga dengan ketat menjaga gerbang masuk kawasan. Hidupan liar seperti rusa, anoa hingga aneka burung sangat mudah kita jumpai. Ketika
itu seolah menyatu dengan masyarakat. Bahkan menjadi salah satu obyek wisata
bagi warga lokal, mengingat jalur transportasi yang mebalh TNRAW merupakan
jalur penghubung antarkabupaten. Perburuan
liar telah menyebabkan menyusutnya populasi hewan-hewan tersebut.
TNRAW terletak di daratan
Propinsi Sulawesi Tenggara, dengan luas 105.194 Ha, dan terbentang meluas mencakup
empat wilayah kabupaten di Sulawesi Tenggara, yakni Kabupaten Konawe Selatan,
Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kendari, dan Kabupaten Bombana. Jarak TNRAW dari
ibukota provinsi, 120 Km dengan jarak tempuh 2 jam bila mengunakan kendaraan
roda empat.
Secara resmi kawasan ini
ditetapkan sebagai taman nasional pada tanggal 17 Desember 1990 dengan
Keputusan Menteri Kehutanan RI No.756/Kpts II/1990 tentang penetapan Kelompok
Hutan Rawa Aopa Watumohai sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai Taman
Nasional.
Sebelum menjadi TN kelompok hutan
Rawa Aopa Watumohai terdiri dari Taman Buru Gunung Watumohai seluas 50.000 Ha
melalui SK Menteri Pertanian RI No. 648/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober 1976
dan Suaka Marga Satwa Rawa Aopa seluas 55.560 Ha melalui SK Menteri Kehutanan
No.138/Kpts-II/1985 tanggal 11 Juni 1985 (TNRAW, 1999).
Rusa yang ditangkarkan di kawasan TNRAW. foto: Yoshasrul |
Kawasan TNRAW
seluas 105.194 Hektar mempunyai berbagai potensi yang dapat dijadikan sebagai
penunjang budidaya, penyangga sistem kehidupan serta ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Potensi–potensi tersebut, terdiri, beragam tipe ekosistem yang
terdapat dalam kawasan taman nasional rawa aopa watumohai, seperti ekosistem
Hutan Bakau (mangrove)
Hutan bakau di
dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan satu-satunya kawasan
yang masih mempunyai mangrove yang baik, sepanjang pantai selatan dataran
Sulawesi Tenggara. Kawasan seluas 3.000 ha ini, mempunyai keanekaragaman jenis
yang tinggi. Ekosistem ini juga merupakan habitat dari berbagai jenis ikan ,
udang dan kepiting yang dijadikan sebagai mata pencarian utama penduduk
disekitar kawasan tersebut.
Demikian pula,
ekosistem hutan savana yang terdapat dalam kawasan TNRAW yang memiki luas
sekitar 30.106 Ha. kawasan hutan savana ini terdiri dari alang-alang, berbagai
jenis rumput, dan tumbuh-tumbuhan pepohonan yang terdapat di antara padang
savana. Kawasan ini merupakan habitat utama dari jenis satwa–satwa pemakan
rumput seperti Rusa (Cervus timorensis) dan Anoa (Anoa depresicornis). Species lainnya yang terdapat dalam kawasan
ini adalah berbagai jenis burung, baik yang endemik maupun non endemik.
Ekosistem hutan
hujan tropis dataran rendah dan pegunungan rendah. Ekosistem ini mempunyai
vegetasi yang sangat beragam, baik kayu maupun non-kayu dengan luas 62.832
Hektar ini. Jenis-jenis kayu yang terdapat dalam kawasan hutan ini adalah jati,
ponto, bayam, nyato, kayu cina, dan lain-lain. Sedangkan non-kayu adalah
berbagai jenis umbi-umbian, liana, rotan, madu, biji-bijian, dan buah-buahan.
Kawasan hutan ini, dihuni oleh berbagai species baik rusa (Cervus timorensis) maupun anoa (Anoa
depresicornis) sebagai tempat berlindung di kala terik matahari, ular, ayam
hutan, berbagai jenis unggas, dan kera.
Dengan potensi
hutan yang cukup besar, kawasan ini memiliki fungsi hidrologis yang cukup
tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya terdapat sungai-sungai baik yang
besar maupun kecil. Sungai-sungai tersebut antara lain sungai Konawe Eha yang
berfungsi sebagai sumber pengairan utama untuk irigasi bagi 50.848 Ha sawah dan
air minum di Kabupaten Kendari, sungai Tembekuku, sungai Roraya dengan luas
daerah tangkapan air 22.429 Ha, sungai Watumokala, sungai Lanowulu, sungai
Langkowara, sungai Polea dengan daerah tangkapan air seluas 12.847 Ha, sungai
Laea dengan luas tangkapan air 22.628 Ha, Jawi-jawi-Lampopala seluas 11.915 Ha,
Langkowala seluas 10.034 Ha, sungai Totulo, dan sungai Pohara yang merupakan
sumber air minum (PDAM) bagi masyarakat Kota Kendari (TNRAW, 1999).
Ekosistem Hutan
Rawa merupakan satu-satunya kawasan yang digenangi air, karena merupakan muara
dari berbagai sungai sebelum mengalir ke sungai Konaweha dan sungai Pohara.
Kawasan rawa ini merupakan satu-satunya kawasan di Sulawesi dengan ekosistem
rawa gambut basah (Written at all, 1987). Dalam kawasan ini terdapat berbagai
jenis tumbuhan seperti sagu (Metroxylin
sagu) dan beberapa jenis ikan air tawar, antara lain ikan gabus, ikan
karper, ikan mujair, udang, belut, disamping berbagai jenis burung. Sagu (Metroxylin
sagu), merupakan makanan utama dari penduduk asli di Kabupaten Kendari dan
Kolaka.
Dari sisi
keanekaragaman hayati, data terakhir yang diperoleh dari WCS (2001), LIPI
(1993), dan TNRAW (1999) menunjukkan bahwa dalam kawasan TNRAW di atas, paling
tidak terdapat sekitar 124 jenis aves yang terdiri dari 47 jenis endemik, 5
jenis terancam punah, 1 jenis rentan, dan 2 jenis dikategorikan genting. Untuk
mamalia terdapat 12 jenis yang 10 diantaranya endemik Sulawesi dimana 1 jenis
dikategorikan genting. Menurut hasil eksplorasi flora yang dilaksanakan oleh
Balai Kebun Raya Purwodadi-LIPI pada bulan Juni 1993 berlokasi di Gunung
Watumohai dan sekitarnya diperoleh data vegetasi yang terdiri atas 89
suku/famili, 257 marga/genus dan 323 species jenis tumbuhan.
Sebagai sumber
daya ekonomi, kawasan TNRAW dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat bercocok tanam
baik tanaman jangka pendek maupun tanaman jangka panjang. Selain itu, kawasan
ini pula dimanfaatkan sebagai basis ekonomi (utama-bagi penduduk asli) baik
dengan pemanfaatan sumber daya hutan kayu maupun sumber daya hutan non-kayu.
Dengan mengelola sumber daya hutan baik kayu dan non-kayu penduduk asli-
khususnya, yang hidup di dalam dan disekitar kawasan TNRAW dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya secara subsisten.
Manfaat lain dari
potensi keanekaragaman hayati yang terdapat dalam kawasan TNRAW selain sebagai
sumber ekologis dan ekonomi, adalah sebagai sumber bahan kebutuhan peralatan
dan energi. Selain itu pula berfungsi sebagai penyedia kebutuhan makanan
(natura) secara langsung dan sebagai sumber ramuan obat-obatan tradisional.***
Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa dengan ekosistem savana yang dulu menjadi lokasi rusa dan hidupan liar lainnya. foto: Yoshasrul |
Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan daerah tangkapan air bagi daerah aliran sungai yang ada di sekitarnya. Setidaknya ada 15 sungai yang sangat tergantung pada kawasan ini. Sungai Konaweha, merupakan sungai utama bagi irigasi untuk ± 35.000 hektar sawah di Kabupaten Kendari yang menjadi pemasok utama beras bagi sekitar 1.349.616 jiwa (tahun 1990) penduduk di Sulawesi Tenggara.
Di bagian selatan
kawasan, sungai Tembekuku, sungai Roraya dan sungai Watumokala merupakan
sungai-sungai yang memegang peranan penting bagi sumber air minum dan pendukung
untuk mengairi pengelolaan sawah di luar kawasan TNRAW yang terletak di
Kabupaten Kendari. Sedangkan Sungai Lanowulu, Sungai Langkowala, sungai Poleang
dan sungai Totulo juga merupakan sumber kehidupan utama untuk masyarakat di
Kabupaten Kolaka bagian selatan.
Di dalam dan
sekitar kawasan merupakan tempat berdiamnya suku-suku asli Sulawesi Tenggara
dengan sejarahnya masing-masing. Suku asli terdiri atas suku Moronene dan suku Tolaki. Selain itu, ada beragam suku-suku lain yang berdatangan dan
bermukim di desa-desa sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Suku-suku
pendatang ini selain berasal dari dalam wilayah Sulawesi Tenggara (Muna dan
Buton), juga berasal dari daerah lain dari hampir seluruh Indonesia, seperti Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Dibeberapa tempat masih tetap
dikembangkan budaya-budaya setempat yang sudah menjadi ciri khas yang
masyarakat sekitar yang telah dilaksanakan semenjak jaman dahulu, seperti : Tanduale, di Hukaeya dan Laea yaitu
sebuah upacara adat yang dilakukan pada saat penerimaan tamu yang datang ke
kampung.
Masyarakat yang menggantungkan hidup dalam kawan TNRAW sebetulnya memiliki kearifan local untuk mengelola sumber daya alam di kawasan itu. foto: Yoshasrul |
Mereka antara
lain tidak memperbolehkan siapapun menebang mangrove yang ada dalam kawasan
tersebut dan tidak boleh ada penambahan Togo (alat penangkap udang) disekitar
muara sungai tersebut. Pelarangan ini perlu dilakukan, karena bagi mereka,
mangrove yang lestari adalah syarat mutlak bagi tersedianya sumber kehidupan
mereka.
Penambahan Togo
juga tidak diperbolehkan karena mereka sadar bahwa dengan semakin banyaknya
togo maka pendapatan mereka akan semakin menurun, dan bila menurun maka tekanan
terhadap sumber daya alam akan semakin besar.
Ekosistem hutan mangrove di TNRAW kaya potensi. foto: Yoshasrul |
Sedang di Desa Aopa, masyarakat membatasi jumlah tangkapan mereka dari Rawa dengan maksud menjaga agar ikan tidak habis tetapi masih tersisa untuk hari esok. Masyarakat di desa ini juga mengkeramatkan Gunung Tiga Cabang dari segala macam gangguan, yang bila dipahami lebih dalam ini adalah cara mereka menjaga daerah tangkapan air bagi kawasan rawa Aopa.
Namun begitu
seringi kearifan masyarakat kini perlahan mulai tergerus oleh kekuatan ekonomi
baru. Kaum pemodal dengan leluasa merebut hati warga lokal dan memanjakan
mereka dengan uang. Tanah dibeli dengan
luasan berpuluh hingga ratusan hektar. menjadikan warga sebagai buruh di tanah
mereka sendiri seperti menjadi buruh tambak. Konversi lahan pesisir yang
sebagian besar mencakup kawasan TNRAW seolah menutup mata para pengambil
kebijakan. Dari kejauhan tambak telah
terbuka lebar hingga tak terlihat lagi ujungnya.
Menurut
informasi, kepemilikan lahan ini berasal dari berbagai lapisan pemilik modal
besar. Sangat disayangkan sikap pemerintah yang tak kunjung tegas terhadap
pengkapligan lahan di pesisir TNRAW. Mereka
yang telah mengkoversi lahan di TNRAW seharusnya ditindak tegas. Tetapi
faktanya pemerintah hanya melihat saja.
Melihat kondisi
TNRAW saat ini, tentulah nasib TNRAW ke depan akan semakin tergerus, jika saja
tidak ada langkah kongkrit dari pengambil kebijakan di daerah ini. Butuh
kominten semua pihak untuk mengembalikan kondisi TNRAW seperti sediakala, seperti kondisi 20 tahun silam. ***
Comments
Post a Comment